Jakarta ... sebuah kata yang mengundang sejuta makna. Sebuah tempat yang menjadi impian puluhan juta penduduk di Republik ini untuk didatangi. Sebuah kota yang menjadi barometer yang pengaruhnya begitu luar biasa bagi Bangsa ini. Dia begitu menawan, mempesona, dan memberikan harapan serta seribu satu janji yang mampu menghipnotis insan-insan yang masih polos untuk menjamah dan menjangkaunya.
Jadi tidak heran, setiap tahun setelah lebaran khususnya, dengan mudah kita menjumpai entah itu di stasiun maupun terminal dipenuhi pendatang baru dengan mimpi masing-masing. Segumpal harapan tertanam begitu kuat di dada, sekantong tekad disandarkan dengan mantap di pundak, segenggam asa ditambatkan demi satu tujuan: untuk hidup yang lebih baik.
Namun apakah semuanya berjalan dengan lancar? Mungkinkah impian polos mereka dapat tercapai? Apakah angan-angan yang begitu mulia tersebut dapat terwujud dengan mudah?
Dengan kesedihan yang mendalam aku menjawab: TIDAK.
Mungkin pertama kali mereka menginjak kota Jakarta, mata mereka masih bersinar cerah secerah sapaan hangat mentari menyambut mereka. Dada mereka bergejolak, batin mereka bergembira, dan mulut mereka berteriak: aku datang Jakarta!!! Sejak hari ini, aku akan membuktikan bahwa masa depanku sudah berubah, dan kehidupan baru yang lebih baik sudah menantiku. Sambutlah kedatangan kami ....
Entah malamnya mereka menginap di mana, itu menjadi masalah kesekian. Yang jelas, mereka sudah di Jakarta. Dengan berbekal cerita dan sharing teman-teman mereka yang katanya sudah berhasil, mereka sangat percaya diri bahwa mereka juga bisa menjadi orang yang sukses di ibu kota ini. Hari pertama, dilewati dengan sukacita dan kegembiraan. Kedua, mulai menikmati keindahan kota Jakarta dengan jalan-jalan ke situs-situs wisata. Hari ketiga, eksplorasi mulai dilakukan. Keempat, kelima, keenam, dan tidak terasa seminggu sudah mereka di Jakarta, dan mereka mulai menyadari: Jakarta tidaklah seindah yang dibayangkan.
Mencoba mencari kerja dengan pendidikan dan pengalaman minim bukanlah hal yang mudah untuk bertarung di kota metropolitan ini. Perbedaan culture, di mana waktu di kampung masyarakat begitu sopan dan saling memperhatikan berubah total menjadi lingkungan keras dan serba cuek. Suasana desa yang aman tentram mulai berganti dengan berita-berita kekerasan dan kejahatan yang mereka baca di koran maupun lihat dengan mata kepala sendiri. Kesahajaan dan kesederhanaan secara drastis bertransformasi menjadi budaya konsumtif dan konsumerisme.
Akibatnya secara perlahan tapi pasti impiannya mulai luntur. Angan-angan yang memuncak retak seketika. Harapan yang menggunung meleleh seketika layaknya gunung berapi yang mau meletus. Kepercayaan diri hancur seketika. Mau pulang kembali ke kampung, ada rasa malu dan gengsi karena sebelumnya sudah berkoar-koar dan menjanjikan suatu hari kalau pulang akan berbeda. Balik kampung juga berarti mematahkan dan menghancurkan asa sebagian orang yang menggantungkan sejuta pesan dan titipan kala perpisahan sebelum berangkat ke Jakarta. Dan, ketidakmampuan melihat tetesan air mata dari orang-orang yang terkasih menambah keengganan mereka untuk cabut dari Jakarta.
Sementara bertahan terus bukanlah hal yang gampang. Bekal dari kampung semakin menipis. Tekanan dan desakan dari sekeliling mulai membuat mereka gusar dan gamang. Kepribadian yang semula lembut dan sopan mulai terkikis dengan jahatnya alam Jakarta. Tuntutan untuk bertahan hidup membuat mereka berpikir ekstra bagaimana caranya hanya sekedar survival. Sementara kerjaan yang dicari-cari masih belum mereka dapatkan juga.
Alhasil, mau tidak mau mereka terseret dalam kejamnya ibu kota. Hukum alam mulai mereka kenal dan terapkan. Yang kalah tersingkir dan yang kuatlah yang bertahan. Secara paksa mereka harus mematikan kesopanan mereka dan mengubahnya menjadi keberingasan. Tidak mereka hiraukan lagi nurani mereka, tidak diindahkan lagi sapaan batin mereka, dan tidak mereka ingat lagi keramahtamahan sebagai warisan Republik ini. Dalam pikiran mereka hanya satu: BERTAHAN untuk HIDUP.
Mencopet. Mencuri. Menjambret. Merampas. Merampok. Kadang harus membunuh pun mereka lakoni demi tuntutan perut mereka. Dari bis kota ke bis kota, terminal ke terminal, stasiun ke stasiun, pasar satu ke pasar lain, dan semua lokasi yang mereka lihat cocok dan ada kesempatan untuk itu, mereka libas begitu saja. Ada yang bekerja secara kelompok, namun tidak sedikit yang single fighter. Masalah tertangkap, digebuki, dihakimi massa, bahkan dibakar hidup-hidup sudah menjadi urusan belakangan. Dalam pikiran mereka lagi-lagi terngiang satu statemen: HIDUP atau MATI.
Namun tidak semua bertransformasi menjadi kekerasan. Bagi sebagian yang tidak kuat bersaing dan masih mendengarkan lembutnya bisikan hati, mereka menempuh cara lain seperti menjadi pemulung, pengemis, pedagang asongan, penjaja koran, dan beberapa profesi lain yang senada. Mereka selalu mencari peluang dan kesempatan, serta masih memiliki seberkas cahaya bahwa suatu hari akan datang sebuah keajaiban yang mampu mengubah dan mengangkat hidup mereka ke taraf yang lebih baik.
Sedangkan yang sedikit beruntung, mereka bekerja sebagai kuli, tukang bangunan, dan buruh dengan upah yang sangat minimum. Tapi ini lebih baik dan bermartabat, dari pada menyerahkan dan mempersembahkan hidup dan masa depan mereka untuk perbuatan yang tidak terpuji. Dan aku yakin mereka juga masih menyimpan sejumlah asa untuk hidup yang lebih baik.
Namun ada setitik keraguan dalam diriku: mungkinkah itu terjadi?
* * *
1 Mei 2002, seorang pemuda dengan penuh ambisi dan harapan menginjakkan kakinya ke Stasiun Gambir Jakarta. Meskipun ini bukan kali pertamanya dia datang ke Jakarta, namun ini adalah sebuah momen yang sangat bersejarah baginya karena keputusannya untuk meninggalkan semua kenyamanan di kota sebelumnya untuk mengadu keberuntungan dan nasib di Ibu kota.
Dengan sejuta pergumulan, persiapan, dan keyakinan selama hampir 3 bulan ... Hendri Bun memantapkan diri untuk berkarya, berkarir, dan bersatu dengan jutaaan manusia lainnya untuk bersaing menjadi yang terbaik. Dan, menginjak tahun ke-4-nya sekarang, dia mengambil waktu untuk berefleksi dan merenung, apakah impiannya sudah tercapai? Apakah langkah hidupnya sudah menuju angan-angannya? Dan yang terpenting ... apakah dia menikmati hidupnya saat ini?
Biarlah dia bertanya kepada alam ...
Jadi tidak heran, setiap tahun setelah lebaran khususnya, dengan mudah kita menjumpai entah itu di stasiun maupun terminal dipenuhi pendatang baru dengan mimpi masing-masing. Segumpal harapan tertanam begitu kuat di dada, sekantong tekad disandarkan dengan mantap di pundak, segenggam asa ditambatkan demi satu tujuan: untuk hidup yang lebih baik.
Namun apakah semuanya berjalan dengan lancar? Mungkinkah impian polos mereka dapat tercapai? Apakah angan-angan yang begitu mulia tersebut dapat terwujud dengan mudah?
Dengan kesedihan yang mendalam aku menjawab: TIDAK.
Mungkin pertama kali mereka menginjak kota Jakarta, mata mereka masih bersinar cerah secerah sapaan hangat mentari menyambut mereka. Dada mereka bergejolak, batin mereka bergembira, dan mulut mereka berteriak: aku datang Jakarta!!! Sejak hari ini, aku akan membuktikan bahwa masa depanku sudah berubah, dan kehidupan baru yang lebih baik sudah menantiku. Sambutlah kedatangan kami ....
Entah malamnya mereka menginap di mana, itu menjadi masalah kesekian. Yang jelas, mereka sudah di Jakarta. Dengan berbekal cerita dan sharing teman-teman mereka yang katanya sudah berhasil, mereka sangat percaya diri bahwa mereka juga bisa menjadi orang yang sukses di ibu kota ini. Hari pertama, dilewati dengan sukacita dan kegembiraan. Kedua, mulai menikmati keindahan kota Jakarta dengan jalan-jalan ke situs-situs wisata. Hari ketiga, eksplorasi mulai dilakukan. Keempat, kelima, keenam, dan tidak terasa seminggu sudah mereka di Jakarta, dan mereka mulai menyadari: Jakarta tidaklah seindah yang dibayangkan.
Mencoba mencari kerja dengan pendidikan dan pengalaman minim bukanlah hal yang mudah untuk bertarung di kota metropolitan ini. Perbedaan culture, di mana waktu di kampung masyarakat begitu sopan dan saling memperhatikan berubah total menjadi lingkungan keras dan serba cuek. Suasana desa yang aman tentram mulai berganti dengan berita-berita kekerasan dan kejahatan yang mereka baca di koran maupun lihat dengan mata kepala sendiri. Kesahajaan dan kesederhanaan secara drastis bertransformasi menjadi budaya konsumtif dan konsumerisme.
Akibatnya secara perlahan tapi pasti impiannya mulai luntur. Angan-angan yang memuncak retak seketika. Harapan yang menggunung meleleh seketika layaknya gunung berapi yang mau meletus. Kepercayaan diri hancur seketika. Mau pulang kembali ke kampung, ada rasa malu dan gengsi karena sebelumnya sudah berkoar-koar dan menjanjikan suatu hari kalau pulang akan berbeda. Balik kampung juga berarti mematahkan dan menghancurkan asa sebagian orang yang menggantungkan sejuta pesan dan titipan kala perpisahan sebelum berangkat ke Jakarta. Dan, ketidakmampuan melihat tetesan air mata dari orang-orang yang terkasih menambah keengganan mereka untuk cabut dari Jakarta.
Sementara bertahan terus bukanlah hal yang gampang. Bekal dari kampung semakin menipis. Tekanan dan desakan dari sekeliling mulai membuat mereka gusar dan gamang. Kepribadian yang semula lembut dan sopan mulai terkikis dengan jahatnya alam Jakarta. Tuntutan untuk bertahan hidup membuat mereka berpikir ekstra bagaimana caranya hanya sekedar survival. Sementara kerjaan yang dicari-cari masih belum mereka dapatkan juga.
Alhasil, mau tidak mau mereka terseret dalam kejamnya ibu kota. Hukum alam mulai mereka kenal dan terapkan. Yang kalah tersingkir dan yang kuatlah yang bertahan. Secara paksa mereka harus mematikan kesopanan mereka dan mengubahnya menjadi keberingasan. Tidak mereka hiraukan lagi nurani mereka, tidak diindahkan lagi sapaan batin mereka, dan tidak mereka ingat lagi keramahtamahan sebagai warisan Republik ini. Dalam pikiran mereka hanya satu: BERTAHAN untuk HIDUP.
Mencopet. Mencuri. Menjambret. Merampas. Merampok. Kadang harus membunuh pun mereka lakoni demi tuntutan perut mereka. Dari bis kota ke bis kota, terminal ke terminal, stasiun ke stasiun, pasar satu ke pasar lain, dan semua lokasi yang mereka lihat cocok dan ada kesempatan untuk itu, mereka libas begitu saja. Ada yang bekerja secara kelompok, namun tidak sedikit yang single fighter. Masalah tertangkap, digebuki, dihakimi massa, bahkan dibakar hidup-hidup sudah menjadi urusan belakangan. Dalam pikiran mereka lagi-lagi terngiang satu statemen: HIDUP atau MATI.
Namun tidak semua bertransformasi menjadi kekerasan. Bagi sebagian yang tidak kuat bersaing dan masih mendengarkan lembutnya bisikan hati, mereka menempuh cara lain seperti menjadi pemulung, pengemis, pedagang asongan, penjaja koran, dan beberapa profesi lain yang senada. Mereka selalu mencari peluang dan kesempatan, serta masih memiliki seberkas cahaya bahwa suatu hari akan datang sebuah keajaiban yang mampu mengubah dan mengangkat hidup mereka ke taraf yang lebih baik.
Sedangkan yang sedikit beruntung, mereka bekerja sebagai kuli, tukang bangunan, dan buruh dengan upah yang sangat minimum. Tapi ini lebih baik dan bermartabat, dari pada menyerahkan dan mempersembahkan hidup dan masa depan mereka untuk perbuatan yang tidak terpuji. Dan aku yakin mereka juga masih menyimpan sejumlah asa untuk hidup yang lebih baik.
Namun ada setitik keraguan dalam diriku: mungkinkah itu terjadi?
* * *
1 Mei 2002, seorang pemuda dengan penuh ambisi dan harapan menginjakkan kakinya ke Stasiun Gambir Jakarta. Meskipun ini bukan kali pertamanya dia datang ke Jakarta, namun ini adalah sebuah momen yang sangat bersejarah baginya karena keputusannya untuk meninggalkan semua kenyamanan di kota sebelumnya untuk mengadu keberuntungan dan nasib di Ibu kota.
Dengan sejuta pergumulan, persiapan, dan keyakinan selama hampir 3 bulan ... Hendri Bun memantapkan diri untuk berkarya, berkarir, dan bersatu dengan jutaaan manusia lainnya untuk bersaing menjadi yang terbaik. Dan, menginjak tahun ke-4-nya sekarang, dia mengambil waktu untuk berefleksi dan merenung, apakah impiannya sudah tercapai? Apakah langkah hidupnya sudah menuju angan-angannya? Dan yang terpenting ... apakah dia menikmati hidupnya saat ini?
Biarlah dia bertanya kepada alam ...
tukeran .. gue dari jkt ... tapi pindah ke sby ...
ReplyDeleteeh btw, si alam juga dah pindah, jadi loe mo nanya sama sapa ?
Btw, count down tuh count down untuk apaan sih maksudnya?? >> ga ngerti... :D
ReplyDeleteWaa, kenapa ga cerita yang berhasil juga?? He3... :)
Wah, ceritanya nanggung... berlanjut di episode count down at 5 yak?
ReplyDeleteHen, kan dah berjuang di Jakarta, jadi refleksi & merenungnya di Bali aja, ajak istri ama Marvel, duduk di pantai Kuta lihat sunset. Jgn lupa ajak Pak Khun biar dia jadi Iwan Fals; nyanyi sambil berpuisi; "Kemesraan iniiiiii...janganlah cepat berlaluuuuuuuu...." aku sie. dokumentasi aja yak! hehehehe...
Paling berkesan waktu di stasiun Gambir kalo pas ngopi, nunggu agak siangan sebelum jalan ke Kedutaan Besar Belanda. Di KBB gak dijamu kopi sih.
ReplyDeleteWow dalem banged... sedang merenung neh Hen.. daku temenin sama2 bertanya sama alam yahh! Semoga di masa depan, hari2 merantaunya selalu bertambah oke yah...
ReplyDeletesekejam kejamnya ibu tiri tak sekejam ibu kota hihihihi...
ReplyDeletekota jakarta?ribut!!bising!!polusi!!!hihihiihihi enakny di mana? nongkrong di TA ..ngajak2 kring ling ling ah,,,pamer aurat huaaahahahahahahah
i never like jakarta. macet, polusi, kriminal.
ReplyDeletekalo ke jkt, upil jd item
daripada Jakarte pilih Bandung.. masih sejuk en semilir anginnya..
ReplyDeleteJohan: Oeiii ... berarti sering ke kia-kia dong. Jadi kangen hehehe ... Alam? Wah, daku baru tahu pindah tuh. Tau nggak kemana? Biar aku uberin hahaha
ReplyDeleteZilko: Count down? Ada deh ;) Cerita yang berhasil? Hmmm ... bisa kamu lihat dari yang satu ini khan? Hahahaha
Yenlesly: Hehehehe ... kayak serial bersambung aja :) Dikau bersedia jadi seksi tunjuk jalan jugakah?
Tenfams: Oooh ... ngopinya di cafe yang sayap kiri itu bukan?
Violet: Mari ... aku sudah siapkan tempat untukmu bergabung :) Iya neh, semoga hari besok selalu lebih baik. Doain yah ...
Bolot: Pamer aurat? Hahahaha ... bisa2 diusir dari Jakarta oleh F*R neng ... kayak si Inul :))
Dian: Hahahaha ... bukankah dari sananya upil itu udah item? Tapi yang jelas, upilnya pasti tambah banyak hahahaha
Tina: Iya atuh ... Bandung mah, selalu lebih seger *sambil lirik2 Xu*
Hmmm tinggal ganti kata-kata "Jakarta" dengan "Sydney", udah jadi kisah hidupku wakaka
ReplyDeleteHiks masih mending jakarta gw bisa ngecengin cowo2 kece dari pada disini gw ngecengin bekantan ma buaya hiks
ReplyDelete*lirik2 ke hendri* emang bener Bandung itu lebih seger, buktinya aja tiap wiken orang Jakarta pada nyerbu Bandung, ampe macet jalanan di Bandung ama mobil plat B. :)
ReplyDeletekok malu malu Hen jawabnya? di share dong. Aku kan kepengen tau jg jawabnya. :)
ReplyDeletehen, lu lagi bikin cerber ya?? trus itu countdown maksudna opo? kog kayak mo countdown piala dunia german???? g gak nyangka, kau ternyata salah satu org yg bikin jakarta tambah rame...kalo lebaran pulang kampung donk?
ReplyDeleteHuaaaahhh..sudah setop jgn ngomongin jkt lagiii..kangeeennn..kota kelahiranku, kenangan paling indah krn gw kenal dgn ex2 gw..wakkakaakk..Masa remaja yg paling indah..hiks..kok gw sekarang makin tua ya?? :( Ngomong apaan seh!! dasar!! :)
ReplyDeleteTake care ya en be blessed ;)
hmmm...saya urutan yang ke 19 nih...bingung mau komen apaan, soalnya udah terwakili sama yang di atas2 tuuh...
ReplyDeleteHIDUP JAKARTA !!!
*hahahaha, maksa banget*
duhh jakarta panas & macetnya itu ,Hend..hihihihi...kota impian kayanya gak deh ke gw,mending juga ke BANDUNG ^blush^
ReplyDeleteHen, Jakarta adalah tempat aku membenamkan berbagai mimpi...ah..engkau membuatku semakin rindu...
ReplyDeleteJakarta, aku akan kembali
mungkin engkau tak lagi sudi
Tapi diri ini
Berjanji singgah mengabdi
ke jakarta aku kan kembaliiii iiii iii...
ReplyDeletewalau apapun yg terjadiii iiii
*dangdutan*
TA tempat fave gue main ice-skating, kan yg satunya udah tutup, lippo karawaci enaknya dugem di Pisa, ama CJ-nya Hotel Mulia, keren bok, naik mobil Ana, talk shit to Alberto, Ida and friendssssssssss wuihhhhh
ReplyDeleteLong, pamer aurat bareng yok?
Hide: Hahahaha ... tapi Sydney tentulah tidak lebih kejam dari Jakarta khan?
ReplyDeleteTata: Oooo ... jangan-jangan daku pernah dikau kecengin juga yah hahaha ... Btw, kecengin buaya ok juga tuh :))
Bev: Wahhh ... berarti Bev akan segera pulang Jakarta. Cihuiiii ...
Lucy: Yah .. gitulah :) Doain yah agar ndak sia-sia daku merantau di Jakarta :)
Xu: Iya neh. Makanya kalo libur, lebih enak di rumah aja. Bebas macet, bebas biaya, bebas stress :))
Dewi: Wah ... jadi malu kalo cerita. Ntar pada lari ... mendekat hahahaha
Sunny: Hehehe ... apakah daku punya bakat buat cerber? Hmmm ... Count down-nya ada deh ;) Lebaran? Mudik dongggggg
Yulia: Hahahaha ... ternyata banyak yang kangen ama jakarta :) Makanya, buruan balik oeiiiii
Madame: Iya deh ... HIDUP JAKARTA juga :)
MissUnperfect: Wah ... yang satu ini sekompatriot dengan Tina dan Xu juga. Bandung oeiiii ...
Sisca: Wah ... ini juga kangen Jakarta. Cepat pulang dong ... Kita-kita juga kangen ama kalian2 :)
Mee: *sambil bawa krecekan dan kantung permen* Permisi om ... permisi ... gopek boleh, ceceng juga ...
Bronx: Ice skating? Wowwww ... asyik lagi mbok :) Ini anak tahunya dugem doang hahaha ... kapan koko-latte diajak?