Skip to main content

Posts

Showing posts from May, 2006

Cung Ciat

Cung Ciat [baca: Peh Cun] yang di Tiongkok disebut hari Duanwu jatuh pada setiap tanggal 5 bulan ke-5 Imlek. Bersama dengan festival musim semi atau tahun baru imlek dan festival tiongciu atau festival pertengahan musim rontok, merupakan tiga hari raya tradisional yang paling besar di Tiongkok. Tentang asal usul Cung Ciat, penjelasannya bermacam-macam. Ada yang menganggap bahwa hari raya ini berasal dari kebiasaan rakyat merayakan Festival Xiazhi [Pada hari itu, siang hari di belahan utara bumi paling panjang dan malam paling pendek karena sinar matahari pada hari Xiazhi justru tepat di atas garis balik utara.] Tapi ada juga orang yang menganggap bahwa hari raya Cung Ciat berasal dari kebiasaan pemujaan totem rakyat yang bermukim di daerah aliran Sungai Yangtze. Namun yang paling banyak adalah perayaan Cung Ciat adalah sebuah perayaan yang diadakan untuk memperingati Qu Yuan, seorang pujangga Tiongkok yang patriotik. Qu Yuan pernah menjadi pejabat tinggi Negara Chu pada zaman negar

Hampa

Kesepian ... Itulah sebuah kata yang kiranya mampu mewakili siapa diriku yang sebenarnya. Meskipun dari luar aku terlihat begitu sibuk, dengan setumpuk dan seabrek pekerjaan yang siap menanti sentuhan tanganku untuk ditata dan dipermak, namun tidak ada yang pernah menyadari bahwa semua itu hanyalah sebuah bentuk pelarian dan tempat untuk aku bersembunyi dari sebuah perasaan yang dinamakan kesepian. Tidak aku tampik, bahwa semakin sibuk dan semakin banyak beban kerja, itu artinya semakin senang aku menerimanya. Melalui pekerjaan yang disodorkan kepadaku, aku seolah mendapatkan sebuah dunia baru yang sanggup mengalihkan perhatianku dan menyita hari-hariku. Lewat sejumlah tugas yang diberikan kepadaku, aku seolah mendapatkan tempat dan sarana untuk menghindar dan menekan sebuah ruang kosong dalam hatiku yang selalu siap tumpah setiap saat. Dan perasaan tersebut aku sebut sebagai kesepian. Kesunyian ... Itulah seuntai kata yang begitu indah dan menggema di benakku, yang sekaligus menjelask

Libur

Siapa sih yang tidak senang mendengar sebuah kata: libur? Hati siapa yang tidak bergirang kala disodorkan dengan seuntai huruf yang terangkai sangat indah: libur? Muka siapa yang tidak sumringah saat sebaris kata diucapkan: libur? Yah ... libur bagaikan setetes air yang sanggup menghapus dahaga setelah sekian lama berkelana di padang pasir yang luas dan gersang. Libur seumpama gerimis senja hari yang mampu memberikan kesegaran di tengah teriknya mentari siang. Libur diibaratkan beperti segarnya hawa pegunungan daerah puncak yang bisa melapangkan dada ini di tengah pengap dan kotornya udara kota Jakarta. Aku yakin hampir semua orang menyukai libur. Mengapa? Karena libur merupakan hari kebebasan. Di hari berbahagia itu kita tidak dituntut untuk bangun pagi-pagi seperti biasanya. Kita bisa bermalas-malasan, menghabiskan pagi yang dingin dan sejuk di atas tempat tidur tanpa harus berpikir: hari ini aku harus memakai pakaian yang mana? Tugas apa yang harus aku kejar dan selesaikan hari ini?

Norak Abiz

Norak abiz ... begitulah pengalamanku berbicara. Saat membaca sebuah survei tentang perilaku rakyat di Republik ini, dikatakan bahwa salah satu ciri khasnya adalah suka sekali pamer. Tidak peduli apapun itu, dalam situasi bagaimanapun, serta di mana saja, yang penting setiap ada kesempatan mereka pasti sedapat mungkin mempamerkan apa yang mereka punya. Norak abiz ... begitulah aku mendapatkan apa adanya. Tahukah Anda merek Hand Phone dan tipe yang paling banyak dipakai orang? Keliru kalau Anda menjawab Sony Ericson Type T630. Salah besar juga kalau Anda mengatakan Nokia Type 6600. Demikian juga Anda tidak benar saat menjawab Siemens S65. Trus apa dong jawabannya? Yang benar adalah Nokia Type 9500. Kok bisa? Iya dong ... kembali lagi ke habit rakyat Republik ini, HP jenis ini sungguh-sungguh merupakan tools yang tepat untuk mempraktekkannya. Bukan karena fasilitasnya yang canggih lantas mereka membelinya. Bukan juga karena pernak-pernik add-on hebat yang membuat mereka memilikinya. Namu

Sedang ingin bercinta

Wuihhh ... serem abiz yah judulnya: sedang ingin bercinta ... hahaha. Eit ... jangan berpikir yang macam-macam dulu, meskipun benar Hendri sekarang sedang berpuasa panjang dari aktivitas yang namanya bercinta, bukan berarti ini sebuah proklamir atau deklarasi dari hati terdalam tentang keinginan yang terpendam selama waktu yang sangat panjang. BUKAN .... Semuanya berawal dari suatu malam saat aku tidak bisa tidur karena terlalu capek. Seperti biasa, sebagai pelarian dari ketidakbisatiduranku, remote TV selalu menjadi sasaranku. Setelah aku pencet sana pencet sini, sebuah klip musik dengan alunan lumayan keras menarik perhatianku. Aku perhatikan personil yang nyanyi, oh ... Dewa. Biasanya aku kalau dengar lagu Dewa, entah itu di radio maupun TV, dengan spontan aku langsung memindahkan salurannya karena emang aku kurang menyukai musiknya. Namun entah kenapa, lagu ini kok menyita banget perhatianku, dan tanganku sepertinya dihipnotis untuk tidak macam-macam alias hanya kaku saja tak kuasa

Malam Pertama

Tamu-tamu sudah berpergian. MC beserta team penghiburnya sudah pamit. Pasukan video shoot sudah cabut juga. Suasana meriah secara perlahan mulai meredup. Yang tersisa hanyalah tawa canda dan cekikikan kecil dari saudara-saudara yang masih tersisa seraya menikmati hidangan yang masih tersaji khusus untuk keluarga. Kegembiraan mereka seperti menyaingi bunyi piring dan gelas yang mulai dirapikan oleh pihak catering. Aku sengaja memilih untuk mojok di sudut ruangan. Melepaskan kepenatan dan kelelahan setelah seharian melewati prosesi pernikahan yang sangat-sangat kompleks dan rumit. Hela nafas panjang berkali-kali keluar dari hidung dan mulutku sebagai tanda lega karena semuanya sudah berlalu. Ucapan syukur juga melantun begitu saja karena atas kemurahanNya semuanya berjalan dengan sangat lancar. Dari kantong celana, kurogoh HP yang tetap setia menemaniku. Kubaca seabrek SMS yang masuk sebagai ungkapan kebahagiaan sekaligus permintaan maaf dari beberapa rekan yang tidak bisa hadir, entah k

77

Mengutip pernyataan mbah Shakespeare yang aku modifikasi: apalah artinya sebuah angka? Hmm ... banyak sekali ternyata. Angka 1 selalu dicari-cari dan diminati orang. Ndak percaya, lihat saja perlombaan-perlombaan, baik even yang paling terkenal olahraga maupun even persaingan bisnis. Angka apakah yang mereka incar dan buru? Yap, numbero uno alias the number one. Tidak afdol rasanya kalau kita mengkalim seperti ini: pilihlah produk kami, karena kami adalah produk terbaik no. 2. Ataupun sebuah confession berikut: aku manusia terhebat di jagad raya ini karena aku adalah sang juara ke-2. Namun apakah angka 2 tidak ada fans-nya? Ternyata tidak juga. Mereka yang menempatkan diri sebagai kelompok pro-perdamaian selalu menyerukan dan mengkampanyekan simbol dengan dua jari di acungkan: peace. Ada juga yang mengartikannya sebagai victory, alias kemenangan atas peperangan, perpecahan, diskriminasi, dll. Angka 8 juga banyak disukai orang, karena dia berbentuk dua bulatan yang bersambung dan tidak

Selingkuh [Count Down at 1]

Hmmm ... selingan indah namun keluarga tetap utuh. Demikian singkatan gokil kala aku menanyakan kepada temanku apa sih artinya selingkuh itu. Sebuah kegiatan yang kadang dianggap sebagai bumbu kehidupan, bentuk lain dari ekspresi kehampaan, serta secuil variasi yang bagi sebagian orang merupakan sebuah kegiatan yang mempunyai tantangan tersendiri. Sebenarnya dari mana sih asal muasal munculnya selingkuh itu? Menurut penelitian, trend hidup metropolitanlah yang menciptakan semuanya itu. Lho kok bisa? Jelas. Coba bayangkan saja. Dalam sebuah rumah tangga, berapa lama sih sebenarnya waktu efektif bagi suami-istri untuk ketemu. Pagi-pagi sudah bangun, dan biasanya masing-masing sudah sibuk dengan kegiatan sendiri-sendiri. Kala sang istri mempersiapkan diri di kamar mandi, suami melewatkan waktu dengan baca koran atau nonton tivi. Giliran suami yang bersih-bersih, sang istri sibuk di depan meja rias untuk tampil cantik dan menawan sebelum berangkat kerja. Setelah keduanya siap, meja makan m

Count Down at 2

Kejenuhan, kebosanan, tiada gairah, serta kehilangan semangat yang mengebu-gebu, itulah sebuah nuansa yang aku perhatikan sedang menghinggapi para blogger saat ini. Kalau aku mencoba mengumpamakannya sebagai pasangan yang sedang pacaran, saat-saat ini merupakan saat yang sangat berat di mana perasaan cinta mula-mula mulai terkikis dan kabur seiring waktu berlalu. Masa-masa indah di mana semangat untuk setiap hari ketemu dan berkunjung juga sudah redup dan tinggal menunggu waktu untuk hilang dari peredaran. Kala pertama kali berkenalan dengan blog, kita begitu bergairah untuk mengeksplorasinya sampai tuntas. Dari pertama buat template, memodifikasi skin secantik mungkin, memasang SB sebagai tempat woro-woro, memajang foto terbaik kita seolah berseru kepada dunia: inilah aq, mulai koleksi link, dan bermacam-macam script yang menarik sebagai hiasan blog. Kita seperti anak puber baru yang sedang dilanda perasaan cinta sehingga meluangkan begitu banyak waktu untuk mendandani diri kita seca

Sitcom aka Komsit [Count Down at 3]

Selain film kartun, satu-satunya acara yang paling aku nantikan adalah sitcom alias situation comedy atau diterjemahkan ke Indonesia menjadi komedi situasi. Menonton mereka memberikan penghiburan tersendiri kala pikiran ini strees, pusing, berbeban berat akibat himpitan kesibukan dan capeknya pekerjaan. Dibandingkan acara lain, bukannya kesegaran yang didapatkan. Alih-alih untuk melegakan pikiran, malah yang didapatkan intrik-intrik, berita-berita kejahatan, dan banyak hal yang membuat kepala ini tambah pusing. Kok bisa? Iya dong. Coba deh lihat acara TV kesayangan kita, aku yakin semua setuju hampir semuanya dipenuhi dengan yang namanya sinetron. Dan apa sih yang bisa kita dapatkan dari tayangan tersebut? Aku geram melihat tayangan *sori* yang tidak bermutu itu. Gimana tidak? Perhatikan sendiri deh. Sinetron selalu menampilkan dan mengajarkan hal yang tidak etis. Adegan mertua yang bekerja sama dengan anak perempuannya yang menganiaya menantunya kala sang suami tidak ada. Kisah anak t

Sportivitas [Count Down at 4]

Satu hal yang senang aku lihat dari acara olahraga adalah momen saat pertandingan berakhir. Sikap mereka yang begitu bersahabat dengan bersalaman bahkan kadang berpelukan dengan hangat memberikan makna yang begitu mendalam bagiku. Di dalam arena, mereka boleh seperti kucing dan anjing yang saling menyikut, mengganjal, bahkan saling memancing emosi lawan demi sebuah kemenangan. Namun saat semuanya selesai, sikap mereka berubah total. Yang menang mengekspresikannya dengan bersuka, bersorak, melompat, serta berbagai macam ekspresi kegembiraan. Namun kalau diperhatikan secara seksama, semua itu hanya ekspresi sesaat. Dengan segera mereka akan mendatangi lawannya seraya mengucapkan kata-kata penghiburan dan tentunya pujian. Sementara pihak yang kalah tidak merasa dendam, menyambut kedatangan sang pemenang dengan muka ceria, dan secara fair mengakui bahwa lawan lebih baik dari mereka. Sportivitas, itulah kata yang aku anggap paling tepat untuk sikap mereka. Sebuah kata yang bermakna dalam, d

Don't Judge a Book by It's Cover [Count Down at 5]

Case-1: Tugas utamaku adalah mengantar jemput bos kemanapun dia pergi. Karena itulah aku sering mengendarai mobil mewah milik bos, kadang berdua dengan bos namun tidak jarang sendirian. Kejadian seperti ini sudah sangat sering, yaitu tatkala aku disuruh untuk menjemput bos dari sebuah pertemuan di sebuah hotel bintang lima di Jakarta. Seperti biasa, meluncurlah aku dengan segera ke sana. Memasuki gerbang hotel, selalu aku mendapati pemandangan yang luar biasa. Mata kepalaku sendiri melihat bagaimana para satpam dan petugas parkir berebutan menarik perhatianku. Ada-ada saja ulah mereka, dari sekedar memberikan hormat, beramah-tamah, bahkan banyak yang berlomba-lomba menyapaku dengan panggilan agung: BOS. Dalam hati aku hanya bisa tersenyum geli saja. Belum tahu mereka bahwa mobil ini bukan punyaku. Namun kejadian seperti ini sering juga terjadi. Entah alasan tertentu, secara mendadak aku disuruh untuk mengantarkan sesuatu ke bos. Lokasinya juga di hotel. Untuk mengejar waktu, aku pun na

Welcome to Jakarta [Count down at 6]

Jakarta ... sebuah kata yang mengundang sejuta makna. Sebuah tempat yang menjadi impian puluhan juta penduduk di Republik ini untuk didatangi. Sebuah kota yang menjadi barometer yang pengaruhnya begitu luar biasa bagi Bangsa ini. Dia begitu menawan, mempesona, dan memberikan harapan serta seribu satu janji yang mampu menghipnotis insan-insan yang masih polos untuk menjamah dan menjangkaunya. Jadi tidak heran, setiap tahun setelah lebaran khususnya, dengan mudah kita menjumpai entah itu di stasiun maupun terminal dipenuhi pendatang baru dengan mimpi masing-masing. Segumpal harapan tertanam begitu kuat di dada, sekantong tekad disandarkan dengan mantap di pundak, segenggam asa ditambatkan demi satu tujuan: untuk hidup yang lebih baik. Namun apakah semuanya berjalan dengan lancar? Mungkinkah impian polos mereka dapat tercapai? Apakah angan-angan yang begitu mulia tersebut dapat terwujud dengan mudah? Dengan kesedihan yang mendalam aku menjawab: TIDAK. Mungkin pertama kali mereka menginjak