Teman-teman tahu apa singkatan dari SBKRI? Yap ... Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia. Sebuah surat sakti yang selalu menjadi momok bagi WNI suku Tionghoa, namun di lain pihak merupakan surat ampuh bagi sebagian pihak untuk menekan sekaligus ajang untuk mempertebal kantong.
Entah bagaimana asal usul SBKRI ini diterbitkan. Tetapi berdasarkan pengetahuan, referensi, dan cerita-cerita yang aku dengar, surat ini muncul waktu zaman Orde Baru. Tidak jelas apa dasar pemikirannya, secara tiba-tiba seluruh masyarakat Tionghoa dikejutkan dengan sebuah instruksi: bagi masyarakat sukuTionghoa, Anda diwajibkan untuk membuat sebuah surat sebagai tanda menjadi warga negara Republik
Indonesia. Seandainya tidak, maka Anda tidak akan tercantum secara resmi sebagai WNI, dan apabila ketahuan akan mendapat ancaman dideportasi atau dikembalikan ke negara asli, Republik Rakyat Tiongkok.
Alhasil, keresahan dan kebingungan melanda masyarakat Tionghoa. Karena tidak ada pilihan, beramai-ramailah mendaftarkan diri dan membuat SBKRI. Aku masih ingat, sejak kecil aku sudah menemani papaku antri di kantor lurah hanya untuk sekedar mengecek apakah SBKRI kami sudah terbit. Secara teori proses pembuatan SBKRI sangatlah mudah, yaitu cuma menyertakan data lengkap, kemudian dikirim ke Jakarta untuk diproses, dan lahirnya surat tersebut. Namun entah karena menganut peribahasa: kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah, hasilnya prosesnya berbelit-belit dan menjadi panjang sekali. Jadi, setiap minggu kami harus antri melihat papan pengumuman sekiranya punya kami sudah datang dari pusat atau belum.
Selain prosesnya yang berbelit, juga diperparah dengan biaya yang membengkak. Dengan alasan harus di-acc dari Jakarta, ongkos kirim, administrasi, dll, biaya yang seharusnya sangat terjangkau membengkak menjadi berlipat ganda. Memoriku masih berbicara, waktu masih kecil aku selalu bertanya kepada teman main yang secara ekonomi kurang mampu: sudah diurus belum SBKRInya. Dan aku hanya mendapat jawaban: belum. Ditanya lagi: kenapa? Hanya dijawab singkat: tidak ada biaya.
Olala ... kok bisa? Namun karena akalku sebagai bocah masih belum mampu mencerna lebih lanjut, aku hanya diam dan menyimpannya dalam hati saja. Ketika aku sudah beranjak dewasa, dan melihat dengan mata kepala sendiri apa sesungguhnya yang terjadi di Republik ini, aku baru mengerti sepenuhnya.
Satu pertanyaan yang masih nyangkut di kepalaku, entah atas dasar apa kok hanya masyarakat Tionghoa saja yang diharuskan memiliki surat tersebut. Kenapa suku lain seperti turunan Arab atau Melayu tidak? Kalau mau menyamaratakan alasannya, orang Arab bisa juga dikatakan pendatang, soalnya ada yang namanya negara Arab. Demikian juga Melayu, ada negara Malaysia. Namun mungkin karena face orang Tionghoa yang berbeda sendiri kali yah, makanya kita-kita ini dipandang sebagai bukan orang Indonesia asli. Jadi mau ndak mau, harus dong buat yang namanya SBKRI :)
* * *
Entah sudah berapa kali pemerintah menjanjikan untuk menghapus keharusan memiliki SBKRI. Sejak pemerintahan Gus Dur, isu pencabutan surat ini sudah berhembus. Tetapi entah kenapa, prosesnya tidak semulus yang diharapkan. Ketika pemerintahan Megawati, konon sudah keluar surat keputusan Presiden bahwa SBKRI resmi tidak diperlukan, dan yang menjadi patokan bahwa seseorang menjadi WNI adalah cukup mempunyai surat lahir. Itu berarti seharusnya segala proses yang sebelumnya memerlukan surat ini seyogyanya sudah dihilangkan. Masyarakat Tionghoa menyambut gembira surat ini. Namun secara praktek apakah jalan? Ternyata tidak. Surat ini ternyata masih menjadi suatu keharusan.
Masih hangat dalam ingatan, kala pahlawan bulutangkis Indonesia yang berhasil merebut emas pengantin di Olympiade 1992, Alan Budi Kusumah dan Susi Susanti di tahun 2004 mendapat kesulitan mendapatkan visa ke Athena menjadi duta Indonesia sebagai pembawa obor, hanya gara-gara kesulitan SBKRI, dan mereka terancam tidak bisa berangkat. Mereka pun mengadu dan mempertanyakan, kenapa mereka masih dipandang sebagai warga negara ke-2 di Republik ini yang notebene masih diragukan semangat nasionalis dan kewarganegaraannya.
Aku yang membaca berita itu juga hanya bisa geleng-geleng kepala. Kalaulah aku yang kesulitan, maklum-maklum saja, karena siapa sih Hendri Bun itu. Tetapi pahlawan sekaliber itu masih mengalami juga? Benar-benar keterlaluan. Untung saat itu pemerintah mendengar dan bertindak cepat, sehingga mereka diundang secara khusus ke Istana dan diserahkan langsung SBKRI mereka [baca: diserahkan, bukannya ditiadakan], dengan janji untuk segera mensahkan keputusan tentang dihapusnya SBKRI menjadi Undang-undang.
Dan masih hangat di memori kita saat kampanye pemilu, demi menyenangkan dan mengambil hati masyarakat Tionghoa, calon presiden berlomba-lomba menggunakan issue ini sebagai senjata mereka dengan menjanjikan untuk meniadakan SBKRI. Dan ... seperti alunan lagu melankolis: tapi janji ... tinggal janji, setelah menang pemilu tidak ada tindakan sama sekali yang bergerak ke arah tersebut. Semuanya seperti dilupakan begitu saja, hilang dan lenyap ditelan waktu.
Aku pikir masalah SBKRI hanya hot di Jakarta saja, atau mayoritas milik orang-orang yang lahir di luar pulau Jawa saja. Namun ternyata tidak. Kemarin waktu aku main di kampung istri, suatu hari aku mendapati kakak Papa istri berpakaian rapi dan mampir ke rumah. Tumben, pikirku. Setelah berbasa-basi, akupun tanya: mau ke mana, kok rapi banget?
Dia pun menjawab: mau ke kantor camat, ngurus KTP.
Ooo ... paling cepat yah, sehari jadi, balasku.
Eh ... aku mendapat jawaban singkat yang membuatku terhenyak: ndak, gara-gara SBKRI sih, prosesnya jadi panjang.
Aku diam saja. Setelah dia pergi, aku tanya istri: emang di sini pake SBKRI juga?
Dan sebuah jawaban yang membuat aku geram: yeee ... ndak tahu kamu. Justru karena di sini kota kecil, jadi malah lebih dipersulit. Beda dengan kita di Jakarta, bisa minta bantuan biro jasa, kalo di sini harus ngurus sendiri ...
OMG ... how come. Jelaskan padaku ...
* * *
"Pak, aku mau minta bantuannya untuk membuat akte lahir anak saya. Surat-surat apa saja yang diperlukan?"
"Oh ... mudah pak. Tinggal siapkan fotokopi KTP suami-istri, kartu keluarga, akte lahir suami-istri, surat keterangan lahir dari RS, surat
keterangan dari RT/RW, surat nikah ..."
"Itu aja? Ok deh, ntar saya siapkan secepatnya ..."
"Baik. Eh ... ada yang kurang, lampirkan juga fotocopi SBKRI bapak?"
"Apa? SBKRI ... Bukankah seharusnya itu sudah tidak diperlukan lagi?"
"Secara teori emang sih ... tapi supaya dipermudah dan lancar, lampirkan juga deh. Karena masih diminta ..."
Hhhh ... aku hanya bisa merenung, diam, mematung, dan tidak bersuara ....
Entah bagaimana asal usul SBKRI ini diterbitkan. Tetapi berdasarkan pengetahuan, referensi, dan cerita-cerita yang aku dengar, surat ini muncul waktu zaman Orde Baru. Tidak jelas apa dasar pemikirannya, secara tiba-tiba seluruh masyarakat Tionghoa dikejutkan dengan sebuah instruksi: bagi masyarakat sukuTionghoa, Anda diwajibkan untuk membuat sebuah surat sebagai tanda menjadi warga negara Republik
Indonesia. Seandainya tidak, maka Anda tidak akan tercantum secara resmi sebagai WNI, dan apabila ketahuan akan mendapat ancaman dideportasi atau dikembalikan ke negara asli, Republik Rakyat Tiongkok.
Alhasil, keresahan dan kebingungan melanda masyarakat Tionghoa. Karena tidak ada pilihan, beramai-ramailah mendaftarkan diri dan membuat SBKRI. Aku masih ingat, sejak kecil aku sudah menemani papaku antri di kantor lurah hanya untuk sekedar mengecek apakah SBKRI kami sudah terbit. Secara teori proses pembuatan SBKRI sangatlah mudah, yaitu cuma menyertakan data lengkap, kemudian dikirim ke Jakarta untuk diproses, dan lahirnya surat tersebut. Namun entah karena menganut peribahasa: kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah, hasilnya prosesnya berbelit-belit dan menjadi panjang sekali. Jadi, setiap minggu kami harus antri melihat papan pengumuman sekiranya punya kami sudah datang dari pusat atau belum.
Selain prosesnya yang berbelit, juga diperparah dengan biaya yang membengkak. Dengan alasan harus di-acc dari Jakarta, ongkos kirim, administrasi, dll, biaya yang seharusnya sangat terjangkau membengkak menjadi berlipat ganda. Memoriku masih berbicara, waktu masih kecil aku selalu bertanya kepada teman main yang secara ekonomi kurang mampu: sudah diurus belum SBKRInya. Dan aku hanya mendapat jawaban: belum. Ditanya lagi: kenapa? Hanya dijawab singkat: tidak ada biaya.
Olala ... kok bisa? Namun karena akalku sebagai bocah masih belum mampu mencerna lebih lanjut, aku hanya diam dan menyimpannya dalam hati saja. Ketika aku sudah beranjak dewasa, dan melihat dengan mata kepala sendiri apa sesungguhnya yang terjadi di Republik ini, aku baru mengerti sepenuhnya.
Satu pertanyaan yang masih nyangkut di kepalaku, entah atas dasar apa kok hanya masyarakat Tionghoa saja yang diharuskan memiliki surat tersebut. Kenapa suku lain seperti turunan Arab atau Melayu tidak? Kalau mau menyamaratakan alasannya, orang Arab bisa juga dikatakan pendatang, soalnya ada yang namanya negara Arab. Demikian juga Melayu, ada negara Malaysia. Namun mungkin karena face orang Tionghoa yang berbeda sendiri kali yah, makanya kita-kita ini dipandang sebagai bukan orang Indonesia asli. Jadi mau ndak mau, harus dong buat yang namanya SBKRI :)
* * *
Entah sudah berapa kali pemerintah menjanjikan untuk menghapus keharusan memiliki SBKRI. Sejak pemerintahan Gus Dur, isu pencabutan surat ini sudah berhembus. Tetapi entah kenapa, prosesnya tidak semulus yang diharapkan. Ketika pemerintahan Megawati, konon sudah keluar surat keputusan Presiden bahwa SBKRI resmi tidak diperlukan, dan yang menjadi patokan bahwa seseorang menjadi WNI adalah cukup mempunyai surat lahir. Itu berarti seharusnya segala proses yang sebelumnya memerlukan surat ini seyogyanya sudah dihilangkan. Masyarakat Tionghoa menyambut gembira surat ini. Namun secara praktek apakah jalan? Ternyata tidak. Surat ini ternyata masih menjadi suatu keharusan.
Masih hangat dalam ingatan, kala pahlawan bulutangkis Indonesia yang berhasil merebut emas pengantin di Olympiade 1992, Alan Budi Kusumah dan Susi Susanti di tahun 2004 mendapat kesulitan mendapatkan visa ke Athena menjadi duta Indonesia sebagai pembawa obor, hanya gara-gara kesulitan SBKRI, dan mereka terancam tidak bisa berangkat. Mereka pun mengadu dan mempertanyakan, kenapa mereka masih dipandang sebagai warga negara ke-2 di Republik ini yang notebene masih diragukan semangat nasionalis dan kewarganegaraannya.
Aku yang membaca berita itu juga hanya bisa geleng-geleng kepala. Kalaulah aku yang kesulitan, maklum-maklum saja, karena siapa sih Hendri Bun itu. Tetapi pahlawan sekaliber itu masih mengalami juga? Benar-benar keterlaluan. Untung saat itu pemerintah mendengar dan bertindak cepat, sehingga mereka diundang secara khusus ke Istana dan diserahkan langsung SBKRI mereka [baca: diserahkan, bukannya ditiadakan], dengan janji untuk segera mensahkan keputusan tentang dihapusnya SBKRI menjadi Undang-undang.
Dan masih hangat di memori kita saat kampanye pemilu, demi menyenangkan dan mengambil hati masyarakat Tionghoa, calon presiden berlomba-lomba menggunakan issue ini sebagai senjata mereka dengan menjanjikan untuk meniadakan SBKRI. Dan ... seperti alunan lagu melankolis: tapi janji ... tinggal janji, setelah menang pemilu tidak ada tindakan sama sekali yang bergerak ke arah tersebut. Semuanya seperti dilupakan begitu saja, hilang dan lenyap ditelan waktu.
Aku pikir masalah SBKRI hanya hot di Jakarta saja, atau mayoritas milik orang-orang yang lahir di luar pulau Jawa saja. Namun ternyata tidak. Kemarin waktu aku main di kampung istri, suatu hari aku mendapati kakak Papa istri berpakaian rapi dan mampir ke rumah. Tumben, pikirku. Setelah berbasa-basi, akupun tanya: mau ke mana, kok rapi banget?
Dia pun menjawab: mau ke kantor camat, ngurus KTP.
Ooo ... paling cepat yah, sehari jadi, balasku.
Eh ... aku mendapat jawaban singkat yang membuatku terhenyak: ndak, gara-gara SBKRI sih, prosesnya jadi panjang.
Aku diam saja. Setelah dia pergi, aku tanya istri: emang di sini pake SBKRI juga?
Dan sebuah jawaban yang membuat aku geram: yeee ... ndak tahu kamu. Justru karena di sini kota kecil, jadi malah lebih dipersulit. Beda dengan kita di Jakarta, bisa minta bantuan biro jasa, kalo di sini harus ngurus sendiri ...
OMG ... how come. Jelaskan padaku ...
* * *
"Pak, aku mau minta bantuannya untuk membuat akte lahir anak saya. Surat-surat apa saja yang diperlukan?"
"Oh ... mudah pak. Tinggal siapkan fotokopi KTP suami-istri, kartu keluarga, akte lahir suami-istri, surat keterangan lahir dari RS, surat
keterangan dari RT/RW, surat nikah ..."
"Itu aja? Ok deh, ntar saya siapkan secepatnya ..."
"Baik. Eh ... ada yang kurang, lampirkan juga fotocopi SBKRI bapak?"
"Apa? SBKRI ... Bukankah seharusnya itu sudah tidak diperlukan lagi?"
"Secara teori emang sih ... tapi supaya dipermudah dan lancar, lampirkan juga deh. Karena masih diminta ..."
Hhhh ... aku hanya bisa merenung, diam, mematung, dan tidak bersuara ....
emang keterlaluan pemerintah kita, gua bener-bener gak setuju dengan adanya SBKRI itu. kalo masih harus punya SBKRI berarti belum bener-bener diakui sebagai WNI. Kalo SBKRI-nya emang gak ada mau diapain hayo?!
ReplyDeleteemang tuh nyebelin, kemaren hubby g mo bikin passport, sebenenernya seh dia dah ada passport tp dia gak mo perpanjang yang di kampung punya abiz repot mesti pp kampung, so syarat2nya tetep aja tuh mesti pake SKBRI, katanya dah diapus... resyeh memang orang2 itu.. sampe kapan ya kita gak didiskriminasi huh!
ReplyDeleteNyebelin bgt emang. Gw kalo udah abis dimintain SBKRI itu , bisa 2 bulan mendadak gw males bayar pajak :(
ReplyDeleteSkrg udah punya laki orang batak, bawa marga juga tetap aja nggak berguna, tetep di minta SBKRI & harga proses surta2 nya pasti lebih mahal deh dibanding misoa. Nasib....nasib...
waks... gua baru ngeh ada surat begituan Hen.
ReplyDeletegua ada gak yah SBKRI *bingung sendiri*
kalo emak bapak gua harusnya ada lah ya, kalo ngga, akte lahir ku gemana keluar hehe
thanks buat ngasi infonya hen *serasa baca blognya dept kewarga negaraan*
*btw, ada ga sih dept ke warga negaraan*
Iya tuh, emang diskriminasinya parah bgt di Indonesia... . Kalo face yang beda, sebenernya face orang Timur Tengah beda kan sama orang Indonesia? Orang Indonesia barat sama timur aja udah beda koq facenya... . Emang aneh...
ReplyDeleteAku pernah baca artikel, kan pas jamannya Mega dah ga pake SBKRIan lagi, pas ganti ke SBY ada orang tetep diminta SBKRInya, alasannya: "Yang ga pake SBKRI kan pemerintahannya Mega, sekarang dah bukan lagi, jadi ya tuh aturan ga berlaku lagi" >> ga masuk akal bgt kan??
Xu: Yah ... gitulah hehehe. Kalo ndak ada SBKRI, paling terkungkung aja selamanya di Indo. Dan yang jelas, urusan surat2 akan direpotkan sampai kita mau ndak mau urus tuh surat :)
ReplyDeleteSunny: Hahaha ... ternyata bukan daku saja yang yang alami :) Toast dong kalo gitu ...
Yenny: Hahaha ... ada toh hubungan SBKRI dengan pajak. Btw, ndak efek toh meskipun udah bermisua Batak :))
Violet: Iya, itu berarti kamu pake punya ortu. Tapi menurutku kita juga harus punya sih, soalnya untuk anak kita sih. Tapi, apa bisa ntar anak kita pake SBKRI engkongnya?
Zilko: Hahaha ... begitulah Republik ini. Kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah? Tanya kenapa? *jadi ingat iklan yang orang ngurus surat itu hehehe* Jadi lain pemimpin lain kebijaksanaannya yah ... Ohhh ... Indonesiaku ...
tambah satu lagi BANGSAT, in my record. gue juga ada SBKRI, yg lutjunya lagi, lengkap dengan last name emak gue (confused) soale emak ama pak gue kawinnya kan di kelenteng, disaksikan ama priests juga SHAIT!
ReplyDeleteTul nyebelin emang. Waktu Bikin akte lahir anak juga masih di minta SBKRI Ortu... mestinya kan udah gak di butuhin lagi..Sebel...sebel..
ReplyDeleteperasaan soal ngurus2 tuh (birokrasi)emang selalu dipersulit, gak cuman warga Tionghoa aja loh. aku minta tanda tangan camat aja diputer-puter, nunggu beberapa hari, sampe di kedutaan Belanda di Jkt surat2nya dibilang gak lengkap. balik lagi deh 8 jam berkereta ria ke Semarang. nunggu lagiii...sampe camatnya ada mood buat tanda tangan. prfffh...!!!
ReplyDeleteyang gue tau seh kalo bikin surat apa2 harus asa sbkri dari ortu ,,kalo gue ndiri gak punya hihihihihi
ReplyDeleteBronx: Hahaha ... nih anak MACHO juga yah :) Btw, mending loh SBKRI loe last namenya emak loe, lha aku tahu ndak ... oma gua *geleng2 kepala semua* hahaha
ReplyDeleteIr: Hahaha ... daku pikir hanya daku yang sebel aja, ternyata semua mengalaminya yah :))
Bev: Kalo aku dapat SBKNM masih mending ... yah, minimal di sana lebih terjamin hahaha ... *jangan geleng2 kelapa, taon lahirku tidak jauh beda kok dengan u :) hahaha*
Tenfams: Hahaha ... segitu bobroknyakah birokrasi di Republik ini? Hmmm ... semoga angin perubahan yang dijanjikan benar2 berhembus deh :)
Meloi: Ooo .. ndak punya juga toh. Dulu aku juga apa2 pake ortu, tapi berhubung udah berkeluarga, maka harus punya sendiri. Gitu loh :)
Hm..surat itu , saya punya gak seh..sdh lupa tuh...
ReplyDeleteMemang terlahir sebagai warga keturunan, saya sering mendapat keistimewaan, tapi cintaku pada negeriku tak sedikitpun berkurang..
SBKRI = SATU BAGIAN KEJI REPUBLIK INI.
Sisca: Hahaha ... masa surat sakti seperti itu bisa lupa punya atau tidak :) Btw, siapa sih yang meragukan kenasionalismeannya Sisca :)
ReplyDeleteLucy: Ngerasa begitu juga yah :) So ... banyak2 berdoa deh, agar angin perubahan segera terjadi hehehe
"Kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah" peribahasa ? wakaka. Ini emang udah budaya khas Indonesia. Ujung-ujungnya duit.
ReplyDeleteAku tambahi satu lagi deh Hen "ANDA SELANGKAH LEBIH MAJU DENGAN TANPA MENGGUNAKAN CALO" *ngakak sambil guling-guling*
SBKRI ini mirip ama kentut yah, gak ada wujudnya tapi kecium baunya; alias katanya udah dihapus kok masih ditanyain lagi ?
Untunglah pas aku perpanjang paspor di Konjen RI di Sydney gak dimintain SBKRI, kalo gak kudu minta kiriman punya daddy dari Indo
Parah emang Hen. Bukan cuman SBKRI, aku ingat saat aku mo ngurus pasportku dulu. Aku diminta surat kawin ortu, padahal jelas2 dalam surat lahirku, aku ini anak sah dan legal dari ortuku.Udah gitu 'gak ramah lagi.
ReplyDeleteSebel, aku ngubungin aja biro jasa, eh malah ketawa orangnya pas waktu aku tanya anda butuh surat kawin ortuku? Buat apa katanya. Lha???
Kayaknya SBKRI masih dipertahankan supaya duit masih bisa lancar ngalir ya?
Hide: Hahaha ... begitulah Republik ini Bro ... UUD semua :) Bagus juga analogimu: SBKRI=kentut hahaha ... aku senang itu :)
ReplyDeleteSinceyen: Gitu yah :) kadang heran yah, kenapa sih mentalnya kayak gitu hihihi ... Berarti bisa disimpulkan sementara yah: birokrasinya yang bikin reseh ... setuju?
Birokrasinya sih sebenarnya jelas (kalo sesuai dengan aturan main yg resmi).
ReplyDeleteOrang-orangnya (walaupun 'gak semuanya) yang reseh.
kpnan ngurus surat2 apa gitu
ReplyDeletetrus diminta surat ganti nama?
aku sampe heran
ha???
emang namaku sopo thoo??
dr dulu ya gini ini namanya
iya kalo dr lahir nama aneh bin ajaib
ini kan nama indo
eh ko, skrg ada surat baru
nama marga harus dicantumkan di belakang/didepan(lupa:D) nama indo
misalnya nih ya
The Gunawan Theodorus
Go Suyanti Wijaya
Liem Yenny
mbulet tohhh?
Bev: Oh gitu toh cerita lengkapnya hihihihi ... makacih yah untuk infonya. So ... haruslah kita bangga kalo memilikinya khan :)
ReplyDeleteMee: Iya ... dulu akte lahirku namanya yang 3 suku, trus ada instruksi ganti jadi bhs Indo. Waaa ... jadilah seperti yang sekarang hahaha ...