Tiada hari tanpa demo. Begitulah pameo baru yang beredar di Republik ini semenjak rezim orde baru tumbang. Dulu, orang akan berpikir 1001 kali kalau mau berdemo ria. Meskipun negara kita memiliki UUD'45 di mana salah satu pasalnya adalah kebebasan mengeluarkan pendapat, tetapi itu bukanlah sebuah jaminan mutlak. Resikonya sangat berat. Kalau ketangkap, nyawa bisa menjadi taruhan. Alhasil, jarang sekali kita mendengar ada pengerahan massa besar-besaran untuk mendemo pemerintah.
Memasuki era reformasi, sebuah masa yang disebut-sebut juga sebagai era kebebasan, demo bermunculan di mana-mana layaknya jamur yang tumbuh subur diterpa derasnya air hujan. Tidak suka ini demo. Nggak setuju dengan itu demo. Kagak terima dengan ono demo. Pokoknya sedikit-dikit langsung demo.
Dan hari ini Jakarta kembali dipenuhi para pendemo. Dari berita yang aku dengar di pagi hari, dari arah Tangerang sebanyak 54 bus dikerahkan untuk meramaikan suasana. Dari arah Depok ada 50 bis menyusul. Entah dari daerah lain datang berapa bis lagi. Mereka berkumpul di Istana Merdeka membentuk barisan mendemo RUU no 13/2003 tentang ketenagakerjaan. Aku lihat di tipi atau baca di situs berita, aksi mereka sempat menimbulkan kemacetan di sepanjang jalan Sudirman Thamrin. Bahkan busway yang merupakan satu-satunya angkutan umum yang anti macet harus dialihkan ke jalan lain. Dan terakhir aku juga baca ada sebagian pendemo yang melakukan tindakan anarkis, yaitu mencoba merusak dan membakar sebuah mobil busway yang kebetulan melintas di sana. Kok bisa ...
Aku yakin mereka yang bertindak itu bukan buruh beneran. Mereka pasti kelompok kecil yang memang sengaja dibayar untuk memperkeruh suasana. Bukan rahasia lagi, di masa sulit seperti ini ada segelintir orang yang terjepit kesulitan ekonomi membanting stir membentuk profesi baru, yaitu sebagai pendemo bayaran. Kabarnya lumayan lho penghasilan mereka. Sehari bisa mendapat fee sekian *angka persisnya aku tidak tahu* plus makan dan minum siang gratis. Hehe ... daripada bersusah payah menjadi kuli yang kerjanya begitu berat, khan lebih enak menjadi pendemo aja. Santai, bisa teriak-teriak, nyanyi-nyanyi, bebas memblokir jalan, dan kerjaannya juga tidak full time alias cuma sekitar 3-4 jam aja. Selesai demo ... bubar sambil menunggu proyek atau panggilan berikutnya.
Demo sih boleh. Tapi yang tertib gitu loh ... setuju khan?
* * *
Cerita tentang demo, aku juga pernah terlibat dalam demo-mendemo. Ah ... yang benar. Hehehe ... serius. Kapankah itu terjadi?
Waktunya, aku yakin kita semua tidak pernah dan tidak akan melupakannya. Sebuah kekacauan, chaos, kerusuhan, pengrusakan, pembakaran, dan penjarahan yang terutama terjadi di Jakarta dan akrab kita kenal sebagai tragedi Mei '98. Demo yang dipolopori mahasiswa untuk menuntut turunnya rezim orde baru terjadi di mana-mana, tidak terkecuali Jogja. Waktu itu aku masih kuliah. Masih terekam dengan jelas diingatku, setiap hari bisa menemui demo, baik itu dalam bentuk sekedar orasi maupun konvoi, tak terkecuali kampusku juga.
Puncak dari semuanya adalah menjelang hari kebangkitan nasional, 20 Mei. Sudah beredar dari mulut ke mulut, bahwa di hari itu seluruh mahasiswa dari semua perguruan tinggi di Jogja akan melakukan long march dan berkumpul di satu tempat, yaitu alun-alun Jogja. Aku awalnya tidak mau ikut, lebih baik ngendon di kost aja, lagian aku juga takut kalau ketembak peluru nyasar, hihihi ... Tapi berhubung teman sekostku pada ikut, sebagai rasa solidaritas aku pun ikut juga.
Kita berkumpul di kampus sekitar jam 08.00. Setelah koordinasi sini-koornidasi sana, kita pun membentuk barisan dengan tali sebagai pembatas kiri-kanan, melangkah dengan langkah tegap dan mantap menuju pesta mahasiswa terakbar. Suasana begitu ramai dengan teriakan-teriakan dan nyanyian-nyanyian plesetan.
Aku yang awalnya diam saja ikut larut juga. Dari jalan Wahidin kita bergerak ke Sudirman. Menjelang pertigaan kali code, kita dibelokkan ke kota baru karena di depan kita sudah berkumpul pasukan dari universitas lain. Menelusuri sepanjang jalan FM Noto kita sampai ke Katedral Kota Baru, kemudian belok kanan menuju Malioboro.
Menginjak mulut jalan Malioboro, lautan manusia sudah berkumpul di sana. Kita pun bergabung dalam konvoi tersebut. Dengan langkah pelan tapi pasti, kita meniti perjalanan sepanjang Malioboro hingga kita tiba di alun-alun, berkumpul dengan rekan-rekan seperjuangan yang konon mencapai 1 juta mahasiswa. Wah ... merinding aku mengingatnya. Di situ Sultan ikut manggung menyampaikan orasi beserta beberapa tokoh penting lainnya. Menjelang siang, kita pun bubar. Aku dan teman-teman sekost langsung balik.
Besoknya tgl 21 Mei, perjuangan mahasiswa berbuah hasil manis. Semenjak itulah pintu kebebasan terbuka dan menurutku terlalu lebar. Dan hasilnya yah ... kita memanen demo :)
* * *
Ada sebuah kenangan yang susah untuk aku lupakan sewaktu aku dan teman-teman pulang dari demo akbar itu. Mau tahu?
Hmmm ... sepanjang jalan kami disambut meriah layaknya pahlawan. Waktu memasuki gang menuju kost, beberapa bapak-bapak dengan spontan dan sikap hormat memberikan jalan seraya menyodorkan air minum kemasan botol. Hahaha ... aku tercengang dan heran, tetapi juga sedikit bangga sambil menyelutuk: gini-gini aku seorang pahlawan juga lho ...
Bagaimana dengan Anda temanku?
Memasuki era reformasi, sebuah masa yang disebut-sebut juga sebagai era kebebasan, demo bermunculan di mana-mana layaknya jamur yang tumbuh subur diterpa derasnya air hujan. Tidak suka ini demo. Nggak setuju dengan itu demo. Kagak terima dengan ono demo. Pokoknya sedikit-dikit langsung demo.
Dan hari ini Jakarta kembali dipenuhi para pendemo. Dari berita yang aku dengar di pagi hari, dari arah Tangerang sebanyak 54 bus dikerahkan untuk meramaikan suasana. Dari arah Depok ada 50 bis menyusul. Entah dari daerah lain datang berapa bis lagi. Mereka berkumpul di Istana Merdeka membentuk barisan mendemo RUU no 13/2003 tentang ketenagakerjaan. Aku lihat di tipi atau baca di situs berita, aksi mereka sempat menimbulkan kemacetan di sepanjang jalan Sudirman Thamrin. Bahkan busway yang merupakan satu-satunya angkutan umum yang anti macet harus dialihkan ke jalan lain. Dan terakhir aku juga baca ada sebagian pendemo yang melakukan tindakan anarkis, yaitu mencoba merusak dan membakar sebuah mobil busway yang kebetulan melintas di sana. Kok bisa ...
Aku yakin mereka yang bertindak itu bukan buruh beneran. Mereka pasti kelompok kecil yang memang sengaja dibayar untuk memperkeruh suasana. Bukan rahasia lagi, di masa sulit seperti ini ada segelintir orang yang terjepit kesulitan ekonomi membanting stir membentuk profesi baru, yaitu sebagai pendemo bayaran. Kabarnya lumayan lho penghasilan mereka. Sehari bisa mendapat fee sekian *angka persisnya aku tidak tahu* plus makan dan minum siang gratis. Hehe ... daripada bersusah payah menjadi kuli yang kerjanya begitu berat, khan lebih enak menjadi pendemo aja. Santai, bisa teriak-teriak, nyanyi-nyanyi, bebas memblokir jalan, dan kerjaannya juga tidak full time alias cuma sekitar 3-4 jam aja. Selesai demo ... bubar sambil menunggu proyek atau panggilan berikutnya.
Demo sih boleh. Tapi yang tertib gitu loh ... setuju khan?
* * *
Cerita tentang demo, aku juga pernah terlibat dalam demo-mendemo. Ah ... yang benar. Hehehe ... serius. Kapankah itu terjadi?
Waktunya, aku yakin kita semua tidak pernah dan tidak akan melupakannya. Sebuah kekacauan, chaos, kerusuhan, pengrusakan, pembakaran, dan penjarahan yang terutama terjadi di Jakarta dan akrab kita kenal sebagai tragedi Mei '98. Demo yang dipolopori mahasiswa untuk menuntut turunnya rezim orde baru terjadi di mana-mana, tidak terkecuali Jogja. Waktu itu aku masih kuliah. Masih terekam dengan jelas diingatku, setiap hari bisa menemui demo, baik itu dalam bentuk sekedar orasi maupun konvoi, tak terkecuali kampusku juga.
Puncak dari semuanya adalah menjelang hari kebangkitan nasional, 20 Mei. Sudah beredar dari mulut ke mulut, bahwa di hari itu seluruh mahasiswa dari semua perguruan tinggi di Jogja akan melakukan long march dan berkumpul di satu tempat, yaitu alun-alun Jogja. Aku awalnya tidak mau ikut, lebih baik ngendon di kost aja, lagian aku juga takut kalau ketembak peluru nyasar, hihihi ... Tapi berhubung teman sekostku pada ikut, sebagai rasa solidaritas aku pun ikut juga.
Kita berkumpul di kampus sekitar jam 08.00. Setelah koordinasi sini-koornidasi sana, kita pun membentuk barisan dengan tali sebagai pembatas kiri-kanan, melangkah dengan langkah tegap dan mantap menuju pesta mahasiswa terakbar. Suasana begitu ramai dengan teriakan-teriakan dan nyanyian-nyanyian plesetan.
Aku yang awalnya diam saja ikut larut juga. Dari jalan Wahidin kita bergerak ke Sudirman. Menjelang pertigaan kali code, kita dibelokkan ke kota baru karena di depan kita sudah berkumpul pasukan dari universitas lain. Menelusuri sepanjang jalan FM Noto kita sampai ke Katedral Kota Baru, kemudian belok kanan menuju Malioboro.
Menginjak mulut jalan Malioboro, lautan manusia sudah berkumpul di sana. Kita pun bergabung dalam konvoi tersebut. Dengan langkah pelan tapi pasti, kita meniti perjalanan sepanjang Malioboro hingga kita tiba di alun-alun, berkumpul dengan rekan-rekan seperjuangan yang konon mencapai 1 juta mahasiswa. Wah ... merinding aku mengingatnya. Di situ Sultan ikut manggung menyampaikan orasi beserta beberapa tokoh penting lainnya. Menjelang siang, kita pun bubar. Aku dan teman-teman sekost langsung balik.
Besoknya tgl 21 Mei, perjuangan mahasiswa berbuah hasil manis. Semenjak itulah pintu kebebasan terbuka dan menurutku terlalu lebar. Dan hasilnya yah ... kita memanen demo :)
* * *
Ada sebuah kenangan yang susah untuk aku lupakan sewaktu aku dan teman-teman pulang dari demo akbar itu. Mau tahu?
Hmmm ... sepanjang jalan kami disambut meriah layaknya pahlawan. Waktu memasuki gang menuju kost, beberapa bapak-bapak dengan spontan dan sikap hormat memberikan jalan seraya menyodorkan air minum kemasan botol. Hahaha ... aku tercengang dan heran, tetapi juga sedikit bangga sambil menyelutuk: gini-gini aku seorang pahlawan juga lho ...
Bagaimana dengan Anda temanku?
Wah wah, iya tuh. Demo boleh2 aja, cuma ga suka ngeliat sikap anarkisnya. Apa sih untungnya ngerusak fasilitas umum (tadi kebetulan ngeliat berita di TV ternyata sampe ngerusak pot bunga, halte bis, dll juga ya??)?? Serem tuh... .
ReplyDeleteHen, terakhir ku lihat aksi demo dua tahun yg lalu...meskipun maksdunya punya tujuan..tp sy lebih meilhat demo2 itu sebagai bentuk kekacuan..
ReplyDeleteHingga hari ini, saya tak pernah mengerti...
kulihat aparat kehilangan wibawa..
kulihat pemerintah tak lagi bersahaja...
ku bosan..
makanya kuhengkang...
Begitulah salah satu alasan pergi jauh...yaitu menghindari DEMO
klo mo demo sih setuju-setuju saja but harus TERTIB kali .
ReplyDeleteLoh, di Frankfurt juga barusan ada demo, hehe.. demo tukang sampah, sempet aku foto loh.. Ternyata kompak ya dimana2 demo..
ReplyDeleteyg demo ngerusak itu, pasti stupid and selfis. eh aku kok gak suka ya, reformasi. kebablasan. dikit2x, demo. belom lagi FPI yg menjd raja di indonesia.
ReplyDeleteaku lebih suka jaman otoriter suharto, tapi ya presidennya yg jujur. bukan korup kayak suharto n the gangs
Hidupppp Hendriii!!! Hiduppp Hendriii!!! Fotonya dong Hen? Gw pengen liyat tampang lo waktu ngedemo. Pake iket kepala juga gak? :p~
ReplyDeleteWaduh Hen, kalo masalah DEMO mah gw no comment deh kurang nasionalisme gw...
ReplyDeletewalah demo bikin macet bgt!! untungnya naik sepeda cuma 1 jam sampe rumah dari lapangan banteng.
ReplyDeletetmn yg naik mobil dan rumahnya lebih deket dari kantor malah 2 jam baru sampe rumah:p hehehe
Demo Hendri dulu ahh *POTO POTO POTO* waduh udah bela-belain share foto, ternyata dikau pelit sekali berbagi foto
ReplyDeleteMana ku tahu kalau dikau adalah saudara kembarku lain ayah dan ibu ? Abis banyak banget kemiripan
*menggandeng sisca* sama juga alasannya kenapa aku minggat dari indo, nyari ketenangan, tapi di sini terlalu tenang, sampe pengen ngadain demo wakaka
sama lagi hen, aku juga dulu pernah orasi, abis sebagai yang paling ngocol di teknik mesin, kudu bertanggung jawab. Trus pas mau turun ke jalan, di telpon ama Mommy di HP, ancamnya "Jangan macem macem !" Batal deh.
DEMO = MACET !!!
ReplyDeleteaku sih pernah ikutan demo, tp kalo demo yang sampe merusak terus terang aku gak setuju banget, wong barang yg dirusak itu kan beli dari duitnya kita kita ini juga, kenapa musti dirusak?
ReplyDeleteDaku juga pernah ikut demo Hen , tapi demo masak hahaha kalau ini demo nya enak krn banyak makanan. xixi
ReplyDeletewah wah kalo aku ndak pernah demo hihihi... maunya ikut demo masak aja, pasti asyik :D
ReplyDeleteseumur-umur baru beberapa kali ikut demo, demo Tupperware. hiks.
ReplyDeleteZilko: Hehehe ... begitulah yang aku tidak suka. Btw, lihat ndak foto-foto haedline surat kabar hari ini, menyeramkan mbok ...
ReplyDeleteSisca: Oh gitu toh ceritanya jadi cabut ke negerinya Zidane hehehe ... Btw, dengar-dengar Prancis juga sering demo lho ... Kalo itu gimana hayo ...
MissUnperfect: SETUJU. Demo tapi TERTIB :))
Tina: Oh gitu hehehe ... tapi bedanya di sana tidak sampai timbul tindakan gitu khan?
Dian: Hahaha ... dendam ama FPI yah :)) Jadi menurutmu masih lebih bagus rezim orba dong ...
Dewi: Hahaha ... selain iket kepala juga lengkap dengan tombak runcing :)) Emangnya mau perang lawan penjajah hihihi
Nainggolan: hahaha ... berati waktu itu kemana aja non :)
Dhani: oh gitu hehehe ... btw, lap bantengnya dekat mana Bro? Sama Hotel Borobudur?
Hide: Hahaha ... bukan pelit share foto, tapi emang kurang stok. Penasaran dengan kembaranmu ini? Hahaha ... tunggu tanggal mainnya aja Bro :))
Madame: Hehehe ... ini komentar orang yang udah patah arang menghadapi demo :))
Ling: Iya juga yah. Fasilitas umum khan dari pajak kita-kita juga. Mungkin mereka tidak bayar pajak kali, makanya mereka tidak merasa :)
Lisa: Waaa ... mau juga dong. Apalagi demo buat juice alpokat, aku daftar ...
Bunga: Kenapa pusing? Hehehe ... demo kecantikan? Boljug tuh ... jangan lupa undang aku yah :))
Nie: Demo masak juga? Hmmm ... jangan lupa undang daku hihihi
Tenfams: Hahaha ... Fans berat tupperware rupanya :) Btw, di negeri sono ada juga khan tupperware?
Bev: Hahaha ... punya ciri khas kok yang jelek gitu loh :)) Sekali-kali yang bagus kenapa sih ...
ReplyDelete