Burjo

Hahaha ... ini sebuah istilah baru lagi. Pernahkah mendengar istilah ini: Burjo?

Bagi Anda yang pernah menghabiskan waktunya sebagai anak kost, terutama di Jogjakarta, pasti pernah mampir di sini. Tempat ini sering digunakan tempat untuk mangkal, menghabiskan malam dengan teman-teman, tempat memuaskan dahaga dan lapar. Jadi tidak heran tempat ini merupakan salah satu tempat favorit bagi sebagian anak kost, termasuk diriku.

Bubur kacang ijo, demikian kepanjangan dari burjo. Dengan harga yang sangat terjangkau, akan tersaji dengan indah di depan kita semangkok panganan yang isinya kacang ijo, ketan item, dan dilumuri santan putih. Kadang ada yang minta disajikan hangat, dan dengan menambah seratus perak beberapa bongkah kecil es batu nongkrong siap memberikan kesegaran tiada taranya.

Selain itu, warung burjo juga menyediakan jajanan lain. Menunya ditampilkan dengan kreatif dan memikat. Anda tahu di sana juga jual intel? Itu bukan intel beneran atau intel-nya pentium, tetapi singkatan dari indomie telor, alias indomie pake telur. Ada juga jual tante [tanpa telor aka indomie tapi ndak pake telor], telor setengah matang, STMJ, pisang molen, sampai soda gembira.

Aku termasuk sering mampir di tempat yang satu ini, terutama malam-malam setelah bergadang dengan teman-teman. Kesukaanku bukan burjo, tetapi intel dengan sayur sawi yang banyak. Dengan tambahan segelas teh manis hangat, nikmat sekali sebagai pengganti supper penghantar tidur.

Ada satu kenangan yang tidak pernah aku lupakan dengan burjo. Sebuah pengalaman nyata yang membuat hidup saya lebih berwarna. Ceritanya begini.

Di awal kedatanganku ke Jogja, aku dibekali dengan sejumlah uang yang cukup dan cenderung berlimpah. Namun karena sebagai pendatang baru, banyak kebutuhan yang harus aku beli, seperti kasur, lemari, rak buku, meja belajar kecil, dll. Akibatnya, ibarat pepatah: besar pasak dari tiang, uangku habis. Hasil print di buku tabunganku menunjukkan sebuah angka, Rp. 32.635,- Celaka ... pikirku. Aku lirik kalender, masih tengah bulan. Aliran dana bulanan dari orang tua masih sekitar 10 hari lagi, dan dompetku hanya berisi sekitar 2 lembar uang 10.000-an.

Aku panik. Bagaimana aku harus melewati hari dengan dana segitu? Aku hitung-hitung. Sekali makan sekitar Rp. 1.500,- [tahun '94], kalau sehari makan 2 kali saja berarti habis Rp. 3000,- Dikali 10 menjadi Rp. 30.000,-. Cukup memang, tapi sangat riskan. Gimana kalau ada keperluan mendadak? Gelisah dan ketakutan sempat menghantuiku.

Mau minta orang tua kirim dana lebih cepat? Tidak tega. Minta bantuan dari saudara? Aku sebatang kara di Jogja. Bujukan untuk menghutang teman sempat berhembus kencang di otakku. Namun aku menolaknya, karena dari dulu memang aku diajari orang tua pantang berhutang. Trus gimana dong ...

Aku pun datang ke kost temanku. Cerita punya cerita, ternyata dia juga mengalami hal yang sama. Tapi beda prosesnya. Kalau aku habis karena belanja kebutuhan yang memang perlu, temanku karena boros. Wah ... ada teman senasib nih, pikirku. Alhasil kita pun makin akrab. Kita pun sehati sepikir memikirkan jalan keluarnya.

Burjo ... yah, itulah jawaban dari ketidakberdayaan kami. Karena harga burjo murah, dan mengenyangkan, serta dapat minum air putih gratis, kita pun ke sana.

Pesan burjo 2 mangkok, dan minta air putih berulang-ulang supaya kembung dan kenyang, kita terselamatkan. Masih ingat jelas, waktu itu semangkok adalah Rp. 350,-, jadi sekali makan habis Rp. 700,-. Sehari 2 x habisnya cuma Rp. 1.400,- jauh lebih hemat dibandingkan makan nasi ... he he ... kasihan yah aku :)

Selama hampir 5 hari aku dan teman setiaku menjalani hari-hari yang begitu berat. Sebuah pengalaman yang akan terus kuingat sampai kapan pun, membuat aku bisa mengerti dan lebih memahami saudara-saudaraku yang kekurangan ...

* * *

Dengan perlahan aku membuka arsip barang-barangku. Terselip di antara tumpukan itu, aku melihat sebuah buku kecil agak kusam. Aku mengambilnya, dan melihat isinya. Terharu aku melihat tulisan yang tercetak di atasnya, sebuah angka yang membuka memoriku ...