Skip to main content

Respon

"Peristiwanya tidaklah penting. Yang paling menentukan adalah apa respon kita atas peristiwa tersebut." Apakah teman-teman pernah mendengar pernyataan ini?

Kalimat indah di atas sudah lama aku dengar, endap-endapkan maksudnya, dan mencari-cari apakah makna di baliknya. Dan setelah sekian lama berjibaku dengannya aku mendapatkan pencerahan melalui kisah-kisah dari tokoh-tokoh yang luar biasa mempraktekkannya. Salah satunya adalah Viktor Frankl.

Pernah dengar namanya khan? Yap ... satu dari sekian orang yang bisa dihitung dengan jari yang lolos dari pembantaian secara besar-besaran dalam rangka pemusnahan etnis tertentu oleh rezim yang ditokohi oleh Aldolf Hitler, Nazi. Sewaktu aku membaca kisah hidupnya, bagaimana dia mampu untuk melihat secara perspektif lain sewaktu di penjara, aku tersadarkan oleh statement di atas.

Benar sekali, peristiwa yang dialaminya saat itu adalah dalam proses menuju kematian. Setiap hari dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana rekan-rekan senasibnya dikeluarkan dari penjara secara random untuk dieksekusi. Dan dia sangat menyadari bahwa suatu hari akan tiba saat bagi dia untuk mendapat giliran. Bisa khan dibayangkan bagaimana stress dan gundahnya perasaan kalau diperhadapkan dengan kondisi demikian. Tak heran, sel tersebut seolah sudah menjadi kuburan hidup. Hampir semua penghuninya sudah patah arang, alias menunggu waktu saja.

Tetapi sikap yang jauh bertolak belakang ditunjukkan oleh Frankl, yaitu bagaimana cara dia memberikan respon atas lingkungannya. Dikatakan, dia tetap memelihara harapannya, melakukan aktivitas seperti biasa seolah-olah tidak berada dalam sebuah tekanan yang luar biasa, hingga dia mampu memberikan semangat kepada rekan-rekannya untuk tetap berharap dan bertahan hidup. Luar biasa ... dan akhirnya waktu dan sejarahlah yang mencatatkan namanya untuk dikenang sampai saat ini.

Aku merenungkan apakah daku pernah mengalami hal demikian juga. Bukan dalam arti di penjara dan menunggu hukuman mati? Bukan. Tetapi bagaimana diriku memberikan sebuah respon positif kala mengalami sebuah peristiwa yang sangat-sangat negatif. Dan dalam perenungan yang cukup lama, aku menemukan bahwa aku pernah. Bagaimanakah kisahnya? Inilah selengkapnya ...

* * *

Waktu itu aku sedang skripsi. Layaknya tradisi di kampusku kala itu, kita tidak bisa memilih siapa dosen yang akan menjadi pembimbing kita. Jadi jurusanlah yang melihat proposal kita, kemudian berdasarkan feeling, mereka menentukan si A dan B sebagai dosen pembimbing. Dan kita sebagai mahasiswa tidak bisa protes alias terima jadi saja, meskipun sering topik kita disalah artikan sehingga dosen yang ditunjuk sama sekali tidak sesuai dengan harapan.

Dan, bukan sebuah kebetulan daku termasuk dalam kelompok tersebut. Aku masih ingat judul skripsiku adalah "Penerapan konsep client/server dengan kasus pemesanan barang via internet". Maksud aku dalam judul tersebut adalah meneliti apa itu konsep client/server, bagaimana dia bekerja, hingga membuatkan sebuah aplikasi sederhana untuk membuktikan bahwa konsep tersebut kalau dijalankan di dunia web akan mempercepat proses loading data. Sebagai alat bantu, kasus yang aku ambil adalah pemesanan barang. Sebenarnya kasus tersebut bukan mutlak, dalam arti bisa saja aku ambil kasus tes IQ, searching data, registrasi mahasiswa, dll. Namun, karena Kerja Praktekku berhubungan dengan hal ini, maka pikirku untuk mempermudah proses aku ambil saja kasus ini. Hahaha ... aku bisa bayangkan sidang pembaca yang tidak mengerti bidang ini hanya melongo saja :))

Mis-komunikasi terjadi antara aku dan jurusan. Judulku dianggap lebih condong ke arah pemesanan barang, meskipun dalam proposalku jelas-jelas aku tulis dalam batasan masalah kasus itu hanyalah 'bumbu' serta fiktif belaka. Alhasil, daku diberi dosen pembimbing yang mengerti betul akan akuntasi, proses jual-beli barang, sistem inventori, retur barang, dll. Dan celakanya, dosen tersebut adalah dosen yang terkenal sangat KILLER di mata mahasiswa.

Waktu pengumuman dosen pembimbing keluar, daku sempat shock berat melihatnya. Kok bisa gitu loh. Dan teman-temanku yang bareng denganku langsung menyalami dengan sikap penuh kemenangan seraya mengucapkan: selamat berjuang. Aku protes, tetapi tidak digubris. Alhasil daku terpaksa gigit jari, dan tidak ada jalan lain, mau tidak mau harus menerimanya. Memang sih aku dapat 2 dosen pembimbing, dan yang satunya 'mudah' untuk dihadapi. Tetapi syarat supaya bisa maju sidang/pendadaran harus disetujui dua-duanya, maka ketakutan terbesarku adalah bagaimana mengakali dan melewati dosen killer ini.

Banyak teman yang menganjurkan aku untuk ubah judul saja. Sebagian kakak kelas yang pernah dibimbing dia dan belum juga lulus juga mengajurkan hal yang sama kalau tidak mau bernasib malang seperti mereka. Dan aku benar-benar di sebuah persimpangan saat itu. Namun, saat aku main ke perpustakaan dan iseng melihat skripsi senior, aku kok mendapatkan kenyataan banyak juga yang lolos alias lulus dengan bimbingannya. Berarti peluangku bukan 100% tertutup, tapi 50-50, tinggal aku meresponnya bagaimana.

Waktu itu aku belum pernah mendengar statemen di atas. Tetapi secara tidak langsung ternyata aku sudah mempraktekkannya. Dalam hatiku berujar: yah sudah, memang aku dalam kondisi demikian. Mau bagaimana lagi? Dari pada terus memberikan respon negatif seraya mendengarkan pendapat negatif juga, lebih baik aku ubah mindset-ku dengan pikiran dan tindakan positif.

Dan, aku pun mulai mempersiapkan mental dan bahan untuk konsultasi. Aku cari-cari info tentang sistem konsultasi dosen ini, bagaimana format proposal dan laporan yang harus disajikan, serta tips dan trik menghadapinya. Dan setelah matang, akupun maju untuk konsultasi pertama kalinya.

Dengan kepala tegak dan penuh kepercayaan diri, aku menuju ruangnya, mengetuk dengan hati-hati, masuk dan menyapa dengan sopan, seraya menjelaskan maksud dan tujuanku ketemu dia. Setelah berbasa-basi sebentar, akupun mengajukan proposalku. Dan ... proses konsultasiku tidak melebihi 5 menit. Aku cuma disuruh tinggalkan saja di mejanya, dan besok datang menghadap lagi. Aku yang kebingungan menurut aja.

Besoknya akupun menghadap dengan harapan ada kabar baik yang sekaligus mementahkan pendapat banyak orang tentang keganasan dia. Namun, harapan tinggallah harapan. Bukan kabar baik yang aku dapat, tetapi kata-kata yang menyakitkan dan meruntuhkan semangat yang harus aku terima dan telan mentah-mentah.

"Apa ini? Aku tidak paham dengan tulisanmu. Ingat, ini skripsi, bukan karangan picisan. Kamu bawa pulang, dan tulis kembali dengan bahasa yang ilmiah. Dan jangan lupa, sebelum aku mengerti dan memahami apa maksud tulisanmu, jangan pernah datang untuk konsultasi."

Wiuhh ... kata-kata itu begitu menyakitkan dan tetap aku kenang sampai saat ini. Belum pernah aku ditolak seperti begini, dan inilah pertama kalinya. Akhirnya dengan hati yang hancur serta amarah karena gengsiku dihantam, aku langsung keluar dari ruangannya, tidak lupa dengan nada kecut mengucapkan terima kasih, kembali ke kost, menggeletakkan begitu saja proposalku, dan tidur. Daku ngambek ... dan hampir 2 bulan aku lantarkan begitu saja skripsiku tanpa berbuat apa-apa.

Entah angin apa yang bertiup, sekonyong-konyong begitu saja aku tergerak untuk mulai mengeluti skripsiku. Aku baca ulang, cari teori sana-sini, lengkapi ini-itu, dan mulai konsultasi lagi. Pertama, masih ditolak. Kedua, nasib sama aku terima. Ketiga, empat, lima ... hingga tidak terasa semester tersebut berakhir, proposalku belum di-acc juga. Akibatnya aku pun harus lanjut di semester berikutnya. Beberapa sobat yang mengetahui kondisiku menganjurkan lagi untuk ganti judul.

Namun, daku tetap tidak bergeming. Sudah kepalang basah, aku menganggap itu sebagai tantangan yang harus aku hadapi. Ibarat gunung Everest, di mana banyak orang yang sudah membuktikan diri berhasil mendakinya, aku yakin pasti bisa juga mengatasinya. Dan, libur semester aku manfaatkan dengan baik untuk mempelajari skripsi senior bimbingan dia seraya memantapkan diri untuk berjuang lagi.

Singkat cerita, memasuki semester baru akupun intensifkan dan mengkonsentrasikan diriku untuk menyelesaikan skripsi. Memang tidaklah berjalan 100% mulus, layaknya jalan tol di Republik ini yang kadang mengalami kemacetan juga, demikianlah proses diriku dalam merampungkan skripsiku. Hingga akhirnya aku pun berhasil mendapatkan acc akhir dari 2 dosen bimbingku, mendaftarkan diri ikut pendadaran, dan hasilnya tidaklah mengecewakan. Aku lulus dengan nilai B gemuk hehe ... Dari bocoran sih katanya selisih nilaiku dengan nilai A hanya nol koma sekian poin.

Namun terlepas dari apapun hasilnya, aku tetap bersyukur dan bangga dengan diriku yang tidak pernah mau menyerah pada kondisi, keadaan, dan peristiwa yang dikatakan orang jelek atau sial atau negatif. Melainkan aku bisa memberikan suatu respon yang sangat positif dalam melewatinya.

Dan dari peristiwa itu juga, selain belajar mematangkan mental, aku juga banyak belajar dalam membuat sebuah karya tulis, artikel, tata bahasa yang benar. Secara tidak sadar juga aku menumbuhkan sikap perfeksionis di diriku dalam berbagai hal. Ada positif, demikian juga negatif dalam sikap tersebut. Tetapi aku selalu berusaha untuk bersikap bijaksana dalam melakoninya.

Bagaimana dengan pengalaman teman-teman? Kiranya sudi juga mensharingkannya.

* * *

Tidak salah aku selalu mengatakan bahwa hidup ini adalah sebuah pilihan. Tatkala diperhadapkan kepada sebuah persimpangan yang menuntut kita untuk melangkah ke arah mana, selalu bersikap bijaksanalah dalam melangkah. Banyak sekali tanda atau rambu yang sangat membantu kita untuk mengambil keputusan. Yang menjadi masalah apakah kita mempunyai kepekaan dalam melihat semuanya itu.

Kiranya posting ini bisa menambah daftar bantuan Anda dalam berjalan dan mewarnai hidup menjadi lebih bermakna lagi. Semoga ...

Comments

  1. Hen, bertahan menentang angin itu susah banget. Tapi bagi gw lebih baik menentang angin tapi gw tetap waras daripada berjalan mengikuti angin terus gw nya tewas.... hehehehe...

    *comment orang bingung*

    ReplyDelete
  2. Wakaka, ceritanya dikit banyak mirip sama yang di dalem buku "BERANI GAGAL" (atau) "DARE TO FAIL" karyanya BILLI LIM... :) Gak persis sama sih, cuma ya intinya kira2 gitu... . Gagal beberapa kali tapi ga patah semangat dan mencoba terus... :)

    ReplyDelete
  3. *glek* cengo mandangi Papa MarveL

    Ngeri sekali lah loeee!!! Bisa2nya dapet Nilai kedua tertinggi dari Dosen Killer, apalage uda sempet melalui byk Penolakan dan lo smpt putus harapan 2 bulan..

    BraVo!!! *tepuk tangan*

    ReplyDelete
  4. Diawali dengan sebuah ungkapan, berkali kali kita gagal, ulangi lagi dan cari akal.

    Gelok eloo...segitu menantangnya ama si killer. Saya pikir nilai yg kamu peroleh ada hubungan dgn keuletan kamu.

    Skr ada blog yg membuat kamu menyalurkan bakat nulis, dan kamu mudah mengekspresikannya karena sudah terlalu banyak latihan di kampus.

    Apapun, papa Marvel, salut untuk mu dan prestasi mu :)

    ReplyDelete
  5. Anonymous9:48 PM

    Nice story. :)

    ReplyDelete
  6. Yenny: Setuju dengan kamu. Lebih baik melawan arus daripada mati terseret arus :) *ini jawaban orang bingung ndak hehehe*

    Bev: Kenapa? Sudah mencerna ceritaku :) Btw, gagap bahasa kok bisa buat puisi yang indah :)

    Zilko: Hehehe ... udah baca buku itu juga :) Memang bagus dan inspiring kok. Kamu ada cerita gituan ndak?

    Violet: Begitulah. Kalo tidak begitu kita khan ndak tahu batas ambang kemampuan kita :) Thanks 4 ur clap ...

    Sisca: Bener juga yah ... ato mungkin dia udah stress dengan daku, makanya cepat2 dilulusin dari pada ganggu terus hahaha ... Thanks yah

    Dewi: Makasih ...

    ReplyDelete
  7. gila si hendri mau ngalahin owen ! 7 kilometer

    ReplyDelete
  8. Dian: Hehehe ... aku mah masih kalahlah sama yang satu itu. Aku baru 7 km, dia udah 10 km hahaha ...

    ReplyDelete
  9. pantesan gaya bahasamu apik tenan Hen, ditempa dosen killer hahaha

    ReplyDelete
  10. Hide: Gitu yah hehehe ... memakai peribahasa "bersakit2 dahulu, berleha2 kemudian" hahaha

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Private

Sejak blogger menyempurnakan versi betanya, dari sekian perbaikan dan fitur baru yang diperkenalkan, ada satu fitur baru yang belakangan marak dimanfaatkan oleh para blogger. Fitur tersebut adalah blog readers. Aku yakin teman-teman sudah tahu apa fungsi fitur yang terletak di menu permission ini. Yap ... Fungsinya adalah men-setting blog menjadi private sehingga tidak semua orang berhak dan boleh bersantai di sana, tetapi hanyalah orang-orang pilihan yang di-choose atau di-invite yang bisa masuk dan ngopi di sana. Jadi janganlah heran kalau saja suatu saat Anda meng-klik sebuah blog, yang keluar adalah tulisan "blogger: permission denied; this blog is open for invited readers only", yang artinya Anda tidak diundang dan tidak diperbolehkan untuk mengintip isi blog tersebut. Jangan merasa kecewa, karena pasti ada alasan tertentu mengapa seseorang men-setting blog mereka dari semula open menjadi private. Jangan juga merasa patah hati, karena di balik privatisasi tersebut selalu

Barang Baru

Kira-kira sebulan yang lalu, laptop saya mengalami masalah. Entah karena sudah tua, atau kebanyakan buka program, atau isinya udah penuh, mendadak laptop saya hang. Karena kurang sabar, langsung saja aku matiin dengan paksa. Ketika aku mulai menyalakannya lagi, berhasil ... Namun belum sempat aku klik tombol start, mendadak blue screen error muncul. Awalnya aku pikir itu error normal. Aku pun mematikannya lagi, kemudian restart. Windows menyarankanku memilih Safe Mode, aku pun mengikutinya. Namun, apa yang terjadi, tunggu punya tunggu, nanti detik demi detik, windows yang aku nantikan tidak muncul-muncul. Aku mulai panik ... karena secara pelan mulai terdengar suara berisik yang semakin lama semakin keras. Waduh ... fellingku berbicara kali ini harddisk-ku yang kena. Aku coba tenang, lalu mematikan laptop, dan menunggu sekitar 10 menit. Kembali aku coba nyalain ... dan benar, suara gemerisik harddisk membuatku patah arang ... terbayang sudah data-dataku yang bakalan lenyap [karena suda

Sedang ingin bercinta

Wuihhh ... serem abiz yah judulnya: sedang ingin bercinta ... hahaha. Eit ... jangan berpikir yang macam-macam dulu, meskipun benar Hendri sekarang sedang berpuasa panjang dari aktivitas yang namanya bercinta, bukan berarti ini sebuah proklamir atau deklarasi dari hati terdalam tentang keinginan yang terpendam selama waktu yang sangat panjang. BUKAN .... Semuanya berawal dari suatu malam saat aku tidak bisa tidur karena terlalu capek. Seperti biasa, sebagai pelarian dari ketidakbisatiduranku, remote TV selalu menjadi sasaranku. Setelah aku pencet sana pencet sini, sebuah klip musik dengan alunan lumayan keras menarik perhatianku. Aku perhatikan personil yang nyanyi, oh ... Dewa. Biasanya aku kalau dengar lagu Dewa, entah itu di radio maupun TV, dengan spontan aku langsung memindahkan salurannya karena emang aku kurang menyukai musiknya. Namun entah kenapa, lagu ini kok menyita banget perhatianku, dan tanganku sepertinya dihipnotis untuk tidak macam-macam alias hanya kaku saja tak kuasa