"Kapan kamu pulang kampung?"
"Hari senin, tanggal 23 Oktober."
"Trus balik sini lagi?"
"Kalo ndak kamis, mungkin jumat."
"Kok cepat. Kenapa tidak sekalian seminggu aja. Libur lebaran khan resminya sampai sabtu."
"Tidak pengen aja. Malas di kampung lama-lama"
"Kenapa? Biasanya orang khan ndak sabar menantikan libur panjang gitu. Kamu malah aneh, ada libur panjang gitu tidak dimanfaatin..."
"Bapak tidak tahu sih. Aku tidak enak berlama-lama di sana ..."
"Maksudmu?"
"Tidak tahan omongan orang kampung, terutama keluarga ..."
"Kok bisa?"
"Gini Bapak. Untuk anak gadis seusiaku, seharusnya aku sudah kawin. Kakakku udah kawin, bentar lagi adikku nyusul. Kalau aku berlama-lama di sana, tidak mungkin aku juga bakal disuruh kawin. Makanya aku tidak mau lama-lama di kampung, takut disuruh kawin ..."
* * *
Begitulah sekilas pembicaraanku dengan baby sisterku beberapa waktu lalu. Awalnya aku heran, soalnya dia bilang lebaran ini tidak mau pulang. Alasan awalnya sih karena dia belum 3 bulan menjadi baby sister [BS], dan peraturan agennya memang melarang dia untuk pulang. Tapi aku pikir, tentu tidak manusiawi kalau aku juga ikut-ikutan melarang dia pulang kampung, soalnya lebaran khan momen istimewa di mana itulah saat untuk bisa berkumpul dengan keluarga di kampung serta saat berbagi kebahagiaan di hari kemenangan nan suci dan damai itu.
Lagian selama lebaran aku dan istri kan juga libur, jadi masalah urus-mengurus Marvel tentu bisa kami tangani berdua. Makanya aku bilangin ke dia, kami tidak begitu ketat dengan peraturan-peraturan gituan. Jadi kalau dia ingin ikut mudik, silakan. Jangan pernah ada rasa sungkan dan tidak enak.
Beberapa hari kemudian, waktu sedang bersantai, aku tanya dia lagi, apakah jadi pulang atau tidak. Trus dia pun jawab jadi. Aku pun bilang: ya udah, pulang saja hari sabtu atau minggu, jadi sempat ikut siap-siap dan takbiran malam lebaran. Trus datang lagi aja seminggu kemudian. Tapi rupanya dia usulku dia tolak. Tentu saja aku bingung. Dan terjadilah dialog singkat di atas.
Penasaran aku dengan maksudnya, dia pun menuturkan panjang lebar tentang budaya dan tradisi di kampungnya. Rupanya di sana berlaku kebiasaan, ketika seorang anak gadis lulus SMP, atau tepatnya sudah berumur 17 tahun, maka secara adat di sana mereka akan dikawinkan dengan laki-laki, yang sebagian besar tidak mereka kenal sama sekali. Bagi di sana itu udah biasa, tapi di telingaku itu terdengar seperti kawin paksa.
Ya Tuhan ... di zaman yang katanya sudah memasuki era informasi, zaman post modern, di mana pembicaraan sudah tentang teknologi 3G, dunia serba wireless, konsep mal terpadu, sistem transportasi terpadu dengan bus way atau monorail, akses dunia tanpa batas, dan segala kecanggihan lainnya, rupanya di beberapa tempat di Republik ini masih ada mereka-mereka yang masih bernasib seperti Siti Nurbaya.
How come ... Fenomena apakah ini? Terlihat sekali ada jarak yang begitu jauh antara mereka yang hidup dalam dunia serba-tech dengan mereka yang masih hidup dalam dunia agraria. Ada semacam jurang yang begitu dalam antara kehidupan metropolitan dengan kesederhanaan pedesaan. Ada pandangan hidup yang begitu berbeda antara kehirukpikukan dunia kota dengan kesepisunyian masyarakat kampung.
Dan ... masih banyak sekali Siti Nurbaya di zaman yang katanya sudah mendukung kesetaraan pria dan wanita. Aku membayangkan, seandainya Ibu Kartini bangkit dan melihat fenomena ini, dia pasti akan berduka dan meneteskan air matanya. Boleh percaya atau tidak, tapi itulah sebuah realita.
* * *
"Kenapa kamu bisa sampai di sini? Kalau adatnya memang begitu, bukankah seharusnya kamu sudah kawin juga?"
"Dulu memang aku mau dikawinin juga. Tapi aku tolak. Makanya beberapa hari sebelum aku dikawinin, aku kabur ke Jakarta, bersama beberapa teman yang juga menolak untuk dikawin paksa."
"Emang keluargamu tidak mencarimu?"
"Cari kali. Tapi mungkin tidak tahu mau cari ke mana. Selama 2 tahun lho, aku tidak kasih kabar ke keluarga dan tidak pulang juga, soalnya takut ketahuan pasti disuruh pulang dan kawin. Baru tahun ke-3 aku kasih kabar, dan untung keluarga sudah mulai bisa terima."
Ooo ... hebat juga baby sisterku ini. Berani mendobrak dan menolak kebiasaan yang dirasanya tidak adil untuk kaumnya. Salut ...
"Hari senin, tanggal 23 Oktober."
"Trus balik sini lagi?"
"Kalo ndak kamis, mungkin jumat."
"Kok cepat. Kenapa tidak sekalian seminggu aja. Libur lebaran khan resminya sampai sabtu."
"Tidak pengen aja. Malas di kampung lama-lama"
"Kenapa? Biasanya orang khan ndak sabar menantikan libur panjang gitu. Kamu malah aneh, ada libur panjang gitu tidak dimanfaatin..."
"Bapak tidak tahu sih. Aku tidak enak berlama-lama di sana ..."
"Maksudmu?"
"Tidak tahan omongan orang kampung, terutama keluarga ..."
"Kok bisa?"
"Gini Bapak. Untuk anak gadis seusiaku, seharusnya aku sudah kawin. Kakakku udah kawin, bentar lagi adikku nyusul. Kalau aku berlama-lama di sana, tidak mungkin aku juga bakal disuruh kawin. Makanya aku tidak mau lama-lama di kampung, takut disuruh kawin ..."
* * *
Begitulah sekilas pembicaraanku dengan baby sisterku beberapa waktu lalu. Awalnya aku heran, soalnya dia bilang lebaran ini tidak mau pulang. Alasan awalnya sih karena dia belum 3 bulan menjadi baby sister [BS], dan peraturan agennya memang melarang dia untuk pulang. Tapi aku pikir, tentu tidak manusiawi kalau aku juga ikut-ikutan melarang dia pulang kampung, soalnya lebaran khan momen istimewa di mana itulah saat untuk bisa berkumpul dengan keluarga di kampung serta saat berbagi kebahagiaan di hari kemenangan nan suci dan damai itu.
Lagian selama lebaran aku dan istri kan juga libur, jadi masalah urus-mengurus Marvel tentu bisa kami tangani berdua. Makanya aku bilangin ke dia, kami tidak begitu ketat dengan peraturan-peraturan gituan. Jadi kalau dia ingin ikut mudik, silakan. Jangan pernah ada rasa sungkan dan tidak enak.
Beberapa hari kemudian, waktu sedang bersantai, aku tanya dia lagi, apakah jadi pulang atau tidak. Trus dia pun jawab jadi. Aku pun bilang: ya udah, pulang saja hari sabtu atau minggu, jadi sempat ikut siap-siap dan takbiran malam lebaran. Trus datang lagi aja seminggu kemudian. Tapi rupanya dia usulku dia tolak. Tentu saja aku bingung. Dan terjadilah dialog singkat di atas.
Penasaran aku dengan maksudnya, dia pun menuturkan panjang lebar tentang budaya dan tradisi di kampungnya. Rupanya di sana berlaku kebiasaan, ketika seorang anak gadis lulus SMP, atau tepatnya sudah berumur 17 tahun, maka secara adat di sana mereka akan dikawinkan dengan laki-laki, yang sebagian besar tidak mereka kenal sama sekali. Bagi di sana itu udah biasa, tapi di telingaku itu terdengar seperti kawin paksa.
Ya Tuhan ... di zaman yang katanya sudah memasuki era informasi, zaman post modern, di mana pembicaraan sudah tentang teknologi 3G, dunia serba wireless, konsep mal terpadu, sistem transportasi terpadu dengan bus way atau monorail, akses dunia tanpa batas, dan segala kecanggihan lainnya, rupanya di beberapa tempat di Republik ini masih ada mereka-mereka yang masih bernasib seperti Siti Nurbaya.
How come ... Fenomena apakah ini? Terlihat sekali ada jarak yang begitu jauh antara mereka yang hidup dalam dunia serba-tech dengan mereka yang masih hidup dalam dunia agraria. Ada semacam jurang yang begitu dalam antara kehidupan metropolitan dengan kesederhanaan pedesaan. Ada pandangan hidup yang begitu berbeda antara kehirukpikukan dunia kota dengan kesepisunyian masyarakat kampung.
Dan ... masih banyak sekali Siti Nurbaya di zaman yang katanya sudah mendukung kesetaraan pria dan wanita. Aku membayangkan, seandainya Ibu Kartini bangkit dan melihat fenomena ini, dia pasti akan berduka dan meneteskan air matanya. Boleh percaya atau tidak, tapi itulah sebuah realita.
* * *
"Kenapa kamu bisa sampai di sini? Kalau adatnya memang begitu, bukankah seharusnya kamu sudah kawin juga?"
"Dulu memang aku mau dikawinin juga. Tapi aku tolak. Makanya beberapa hari sebelum aku dikawinin, aku kabur ke Jakarta, bersama beberapa teman yang juga menolak untuk dikawin paksa."
"Emang keluargamu tidak mencarimu?"
"Cari kali. Tapi mungkin tidak tahu mau cari ke mana. Selama 2 tahun lho, aku tidak kasih kabar ke keluarga dan tidak pulang juga, soalnya takut ketahuan pasti disuruh pulang dan kawin. Baru tahun ke-3 aku kasih kabar, dan untung keluarga sudah mulai bisa terima."
Ooo ... hebat juga baby sisterku ini. Berani mendobrak dan menolak kebiasaan yang dirasanya tidak adil untuk kaumnya. Salut ...
Wah Hen dikau sungguh majikan yg baik hati. beruntung bgt baby sitter yg punya majikan sebaik kamu hihi
ReplyDeleteKoq kebalikan dari aku yah??
ReplyDeleteLibur Lebaran cuma 4 hari (sadis banget gak tuh?? Cuma sampe Kamis). Aku malah rencana mo balik sampe Minggu, wakakakaka.... :)) :)) :))
Btw, bener tuh, dulu ada juga pembantuku yg "diambil lagi" sama ortunya soalnya mau dikawinin...
kasihan amat ya baby sitternya.
ReplyDeletenikah dipaksa emang kagak enak.
penuh penderitaan.
waks, gue pikir dipedalaman nias aja ada gituan, hen
ReplyDeletedisana umur 17 tahun udah dianggap perawan tua lho, gawat yah
yang sebelnya adalah sering dikawinin sama laki-laki yang umurnya jauh lebih tua cuma karena masalah uang.
duh, siti nurbaya banget emang....
hihihi keknya gk hanya baby sitter mu aja hen yang dikejar2 disuruh nikah...dulu aku juga dikejar sama orang rumah wat nikah..makanya paling males ikutan acara keluarga hhehe
ReplyDeletehahahhaha ... ternyata masih ada juga budaya begini. tapi mungkin karna sindrom perawan tua tuh nakutin banget, jadi anak gadis umur 15 aja dah disuruh kawin deh ... btw mas hen bae amat, baby sitter mau libur 3 hari, disuruh seminggu. kalo aku sih dah setuju aja dia balik hari rabu ... hahaha
ReplyDeletebaca judulnya sepintas kirain siti nurhaliza hehe
ReplyDeleteini babysiter kamu apa Marvel? xixixi... btw, maish banyak kok hen siti nurbaya di indo ini. Jgn bandingin ma kota besar bo, klo di kampung mah dah biasa. :)
ReplyDelete'gak kaget Hen. Ilmu pengetahuan boleh maju, gaya hidup boleh super modern, tapi manusia dan tradisinya sangat beragam.
ReplyDeleteEh kok malah jadi anonymous gitu sih??? Itu aku Hen.
ReplyDeleteEnak banget ya hen punya majikan spt elo, baik hati & perhatian sama orang. Ga rugi deh...bs-mu :)
ReplyDeletewaaahh ko, ini mah bisa bikin sequel buat skripsiku. hahahha. siti nurbaya zaman modern :p Pulng for good, ntar penelitian ke desa-desa ahhh :o
ReplyDeletehebat and salut amat ama bebe sister muh :D
ReplyDeletebeginilah nasib bangsa kita kalo semua otak cuman maksa anaknya kawin :(
gue ndiri juga....di keluarga yang paling bungsu dan buat cewe yang satu2nya belum merit...untung gue ada temen ..anak cewe bungsu tante belum merit.anak bungsu paman tua dan paman muda juga cewe juga belum merit..kakakkakakakak
ReplyDeleteCanggih banget susternya.
ReplyDeleteSmg juga merupakan perawat yg baik bagi Marvel :)
emang gitu lagi hen.. kalo di kampung gitu anak 14 tahun itu biasanya udah di kawinin hehe..
ReplyDelete