Skip to main content

Introvert yang Memberontak




"Hen, kamu pilih mana. Lembur sampai jam 11 malam atau pergi meeting dengan klien?"

Seandainya pertanyaan di atas dilontarkan 8 tahun yang lalu, saya pasti memilih untuk lembur. Tetapi kalau dilontarkan detik ini juga, dengan mantap saya akan memilih meeting dengan klien.

Kenapa bisa begitu?

Aku adalah seorang introvert yang cenderung ekstrim. Jejak hidupku menceritakan hal tersebut. Waktu SMA aku mengambil jurusan A1 (Fisika) yang notebene banyak hitungan. Masuk kuliah, aku ambil komputer. Pekerjaan pertama? Tidak jauh-jauh. Dengan alasan idealis, aku menekuni pekerjaan yang berhubungan dengan komputer seperti programming, system, trouble shooter, dll. Bisa dikatakan, aku sangat menikmati percumbuanku dengan 'mesin'.

Keseharianku juga mengisahkan hal yang sama. Aku lebih suka mengurung diri di kamar dari pada berha-hi-ha-hi dengan banyak orang. Ketika diajak untuk ikut kegiatan-kegiatan yang mengharuskan aku berinteraksi dengan banyak orang, aku cenderung menolak. Aku aman sekali dan merasa 'hidup' kalau sudah mengurung diri di kamar sambil membaca, merenung, otak-atik games, dkk.

Jadi tidak heran saat aku diberi dua pilihan antara lembur dan meeting, aku akan memilih lembur?

Terus bagaimana ceritanya kalau sekarang aku bisa lebih memilih ketemu orang? Kuncinya satu: adaptasi.

Sering aku saksikan kepada orang bahwa aku termasuk beruntung bergabung sebagai orang IT di perusahaan jasa pelatihan (training provider). Tugasku di sana selain merapikan sistem, aku juga mendapat mandat untuk mengembangkan materi pelatihan (research and development). Karena tugas itu, mau gak mau aku harus sering mampir di kelas-kelas pelatihan kalau-kalau ada development yang bisa dilakukan untuk materi pelatihan yang dibawakan.

Awal ketika diminta untuk hadir di kelas, bisa ditebak. Sepanjang hari aku mencari aman dengan berlindung di balik laptop, di kursi paling pojok belakang. Kalau tidak ada keperluan yang mendesak -panggilan alam ke toilet- aku tidak akan beranjak. Menyapa orang? boro-boro. Nikmati snack waktu coffee break pun dilakukan secara senyap.

Lama kelamaan seiring berjalannya waktu, aku mencoba keluar dari sangkar amanku. Aku pun mulai membuka diri, belajar menyapa orang, mengajak bicara, ikut dalam diskusi. Aha! Aku merasa pengalaman yang berbeda. Mataku dibukakan bahwa berkomunikasi dengan orang lebih asyik dari pada memacari mesin. Sejak itu aku pun MEMUTUSKAN untuk belajar berkomunikasi dengan orang. (Prosesnya mirip dengan konsep Learn, unlearn, relearn--baca di http://www.kompasiana.com/hendribun/belajar-berenang-saat-kepala-3-it-s-possible_55f7dd96d29273d707600b42).

Ala bisa karena biasa. Pepatah itu terjadi bagiku. Seiring waktu aku pun berhasil keluar dari tempurung introvertku. Jadilah diriku seperti sekarang ini. Pribadi yang dikenal orang lain mudah dalam bersosialisasi.

Kalau ditanya, apakah aku meninggalkan kecenderunganku yang introvert? Jawabannya TIDAK. Aku tetap seorang introvert. Bedanya adalah sekarang aku bisa (kalau tidak mau bilang cerdas) menempatkan diriku sesuai dengan peran. Kalau aku ada dalam suasana dan kondisi yang menuntutku untuk memainkan peran ektrovert, aku bisa. Tetapi kalau harus re-charge energiku, aku adalah introvert.

* * *

Istilah introvert-ekstrovert dekat sekali dengan MBTI. Singkatan dari Myers-Briggs Type Indicator, MBTI adalah alat tes yang dirancang untuk mengukur preferensi psikologis seseorang dalam melihat dunia dan membuat keputusan. Dikembangkan oleh Katharine Cook Briggs dan putrinya Isabel Briggs Myers pada sejak 1940, alat ini dirancang untuk mengukur kecerdasan individu, bakat, dan tipe kepribadian seseorang. MBTI merupakan instrumen yang paling banyak digunakan, telah diperbarui dan divalidasi secara ketat selama lebih dari tujuh puluh tahun. Yang unik, MBTI adalah salah satu alat tes yang bisa dipakai oleh orang non-psikologi.

Dalam tes MBTI, ada 4 dimensi kecenderungan sifat dasar manusia yang diukur.
(1) Dimensi pemusatan perhatian (sumber energi): Introvert (I) vs. Ekstrovert (E)
(2) Dimensi memahami informasi dari luar : Sensing (S) vs. Intuition (N)
(3) Dimensi menarik kesimpulan dan keputusan : Thinking (T) vs. Feeling (F)
(4) Dimensi pola hidup : Judging (J) vs. Perceiving (P)
Hasil dari tes MBTI adalah 16 tipe kepribadian manusia yang merupakan kombinasi dari 4 dimensi di atas.

(untuk mengeksplorasi MBTI lebih lengkap, bisa baca di https://en.wikipedia.org/wiki/Myers-Briggs_Type_Indicator)

Tahun 2007 aku mengambil sertifikasi trainer MBTI. Terus terang, waktu aku ikut kelas tersebut, aku gak tahu apa itu MBTI, apa manfaatnya, bisa diaplikasikan untuk apa, dsb. Aku hadir di sana hanya karena direkomendasi oleh salah satu mentorku yang mengatakan bahwa program ini bagus.

Hasilnya? Aku jadi mengerti aku masuk tipe apa. Sebatas itu saja. Karena program yang aku ambil adalah sertifikasi trainer, aku juga dibekali sejumlah tools yang bisa aku pakai kalau-kalau aku mau membuka kelas training berbasis MBTI. Tetapi apakah aku melakukannya? Jelas TIDAK, karena waktu itu aku masih sangat introvert. Semua tools yang aku dapat hanya tersimpan rapi di arsip komputerku.

Seiring waktu, kala interaksiku dengan orang semakin intens, aku pun menyadari sangat penting bagiku untuk mengenal diriku sendiri sebelum aku memahami orang lain. Eksplorasiku lebih lanjut mengatakan MBTI adalah tools yang ampuh. Dengan tahu benar kita memiliki kecenderungan apa, kita bisa bertindak dengan proper. Tantangannya adalah kita kemampuan kita untuk beradaptasi sesuai dengan tuntutan lingkungan/pekerjaan. Dan kisahku di atas adalah salah satu contoh adaptasi yang berhasil.

Tentu masih banyak manfaat lain dari memahami MBTI. Dan introvert-ekstrovert hanya 1 dimensi dari 4 dimensi dalam MBTI. Jadi PRku adalah menuturkan 3 dimensi lainnya.

Sebagai penutup, apakah ada di antara kawan yang mau menceritakan pengalaman serupa? Share ya.

Yaksip!
bun.hendri@gmail.com
@hendribun
www.hendribun.com

Comments

Popular posts from this blog

Pamali

Sedang membantu menyapu rumah. Saat sapuan mendekat pintu depan, istri langsung ambil alih sapu kemudian balikkan arah sapuan ke dalam rumah. Aku : Lho, ngapain sapu ke dalam? Istri : Kalau malam-malam sapu gak boleh ke depan. Ntar rejekinya ikut kesapu ...' * * * Aku percaya, mayoritas teman yang membaca kisah singat di atas akan tertawa -paling tidak tersenyum- sambil mengaku pernah menjadi 'korban' nasehat serupa. Paling tidak begitulah pengakuan sebagian temanku waktu aku melontarkan hal ini sebagai status. Nasehat yang terkenal ampuh untuk membuat kita 'diam' dan 'taat' waktu kecil karena di dalamnya terdapat unsur dan maksud untuk menakut-nakuti. Belakangan setelah kita dewasa kita mengenalnya sebagai nasehat pamali, yang kalau kita analisa dengan nalar ada maksud logis di balik nasehat tersebut. Sebagai contoh. Nasehat yang mengatakan kita tidak boleh menyapu keluar di malam hari karena rejeki akan keluar juga. Kemungkinan maksud nasehat ini dilatarbe...

Belajar Berenang Saat Kepala 3? Its Possible!

Salah satu hal yang mungkin tidak banyak orang tahu tentang aku adalah aku baru bisa berenang saat usiaku menginjak kepala 3. Ups ... aku baru saja membeberkan satu rahasia tentang diriku hehehe. Meskipun aku lahir dan besar di kampung yang notebene banyak airnya (baca: sungai), aku tidak bisa berenang. Dan ketidakbisaanku ini aku pelihara sampai desawa. Lantas, bagaimana ceritanya akhirnya aku bisa berenang? Sederhana saja. Semuanya berawal saat anak pertamaku menginjak usia Balita. Layaknya kesukaan para bocah, mereka selalu punya ketertarikan yang besar akan air yang menggenang (baca: kolam renang). Awalnya aku tidak terusik dengan nir-dayaku berenang saat menemani anakku ke kolam renang. Aku masih bisa menikmati ikut nyemplung di kolam anak-anak sambil menggendong dan menemani anaku di sana. Tetapi lama-lama, ketika anakku mulai bosan di habitatnya dan pengen terjun ke kolam orang dewasa, aku baru sadar. Ditambah dengan perasaan 'orang lain melihat' (kegeerank...