Skip to main content

Tertekan atau Tertantang?

Seandainya ada sebuah peristiwa kecelakaan atau kemalangan diijinkan terjadi dalam hidup kita. Bagaimanakah kita meresponinya?

Ada dua respon yang mungkin terjadi.

Respon pertama adalah kita akan tertekan. Ketika peristiwa tersebut datang, mata kita seolah-olah tertutup dengan hawa-hawa negatif dan pesimis yang ditebarkan oleh peristiwa tersebut, sehingga kita menjadi buta untuk melihat dan menyadari bahwa sesungguhnya masih ada celah di baliknya yang bisa kita manfaatkan dan didayagunakan untuk menanggapinya secara positif. Akibatnya, kita menjadi lumpuh, menyerah, dan akhirnya terpuruk. Dan sayang sekali, kebanyakan orang justru mengambil respon ini. Di masyarakat kita bisa melihat dengan nyata, jumlah manusia stress semakin bertambah, kekerasan menjadi pilihan mereka sebagai pelarian, dan mengakibatkan rasa aman menjadi berkurang.

Respon kedua adalah kita merasa tertantang. Peristiwa tersebut akan kita lihat sebagai sebuah ‘gunung’ atau ‘tebing curam’ yang sangat menggoda dan mengelitik insting kita untuk kita daki dan taklukkan. Spirit atau semangat sebagai seorang pemenang menyala-nyala dalam diri kita dan meyakinkan kita, bahwa tidak ada satupun kesulitan yang mampu membuat kita kalah, takut, dan mundur. Hanya manusia yang bermental bajalah yang memilih untuk bertarung, karena di dalam batinnya terbersit keyakinan bahwa dia memiliki potensi yang bisa mereka kembangkan untuk menaklukkannya.

Semangat seperti itulah yang dapat kita pelajari dari kisah di bawah ini.

* * *

Pernahkah Anda membayangkan, bagaimana seseorang menulis buku, tetapi bukan dengan tangan atau anggota tubuh lainnya, melainkan hanya dengan kedipan kelopak mata kirinya? Jika Anda mengatakan itu adalah hal yang mustahil untuk dilakukan, tentu karena Anda belum mengenal seseorang yang bernama Jean-Dominique Bauby.

Siapakah Jean-Dominique Bauby itu?

Jean-Dominique Bauby, di masa muda adalah seorang yang berbakat dan berjaya. Karena kepiawaiannya, dia berhasil menjadi pemimpin redaksi majalah Elle, majalah kebanggaan masyarakat Prancis yang digandrungi wanita seluruh dunia.

Tahun 1995, ia terkena penyakit stroke yang menyebabkan seluruh tubuhnya lumpuh. Ia mengalami apa yang dinamakan locked-in syndrome, penyakit kelumpuhan total yang membuat dia sama sekali tidak mampu untuk berbicara maupun bergerak.

Namun, di dalam kelumpuhannya ia masih dapat berpikir jernih, dan satu-satunya otot yang masih dapat diperintahnya adalah kelopak mata kirinya. Jadi dengan cara begitulah dia bisa berkomunikasi dengan perawat, dokter rumah sakit, keluarga dan temannya.

Sebagaimana cara Jean berkomunkasi, demikian juga caranya menulis buku. Mereka [keluarga, perawat, dan teman-temannya] menunjukkan huruf demi huruf dan Jean akan berkedip apabila huruf yang ditunjukkan adalah yang dipilihnya.

“Luar biasa!” Mungkin inilah reaksi spontan Anda.

Benar! Begitu juga reaksi semua orang yang membaca kisahnya. Buat kita, kegiatan menulis mungkin sepele dan menjadi hal yang biasa. Namun, kalau kita disuruh ‘menulis’ dengan cara Jean, apakah kita mampu?

Tahun 1996 ia meninggal dalam usianya yang ke-45, setelah berhasil menyelesaikan memoarnya yang ditulis dengan cara yang sangat istimewa. Judulnya ‘Le Scaphandare et le Papillon’ [The Bubble and the Beautiful].

* * *

Wow ... terharu aku membaca kisah di atas. Jean adalah contoh nyata dari orang yang tidak menyerah pada nasib yang digariskan untuknya. Boleh dikatakan, kemalangan yang menimpanya sudah merengut semua kekuatan, kejayaan, dan impiannya akan masa depan. Namun di sinilah hebat dan kuatnya karakter Jean, yaitu dia tidak merespon kemalangannya secara negatif dan menggangapnya sebagai sesuatu yang menekan dia untuk tetap berkreasi. Dia tetap hidup dengan gairah dan optimis, serta yakin bahwa masih banyak hal yang masih dan mampu dia kerjakan.

Inilah sisi lain yang harus kita pelajari dan teladani. Dengan kondisi lumpuh total, apa lagi yang bisa dilakukan? Hidup enggan, mati pun tidak bisa. Begitulah anggapan kebanyakan orang. Tetapi justru di dalam kelumpuhannya, dia menunjukkan semangat luar biasa dengan berhasil membuat sebuah karya spektakular yang bagi kebanyakan orang normal pun hal itu sulit dilakukan.

Bagi kebanyakan orang, kalau diperhadapkan pada kondisi Jean, pasti menganggap hidupnya sudah berakhir. Jangankan seperti Jean, kita yang hidup tanpa punya masalah seberat Jean kadang kala mudah menyerah. Misalnya, ketika kita sedang diliputi gairah kreatif untuk merancang sesuatu, tiba-tiba listrik mati, padahal rancangan tersebut belum kita save, apa umumnya reaksi kita? Yah, kita langsung putus asa dan menyerah, timbul rasa enggan dan malas untuk mulai lagi mengerjakannya dari awal. Dan masih banyak contoh lain lagi yang memancing kita untuk mengajukan seribu satu macam alasan bagi kita untuk menyerah melakukan sesuatu. Namun, sesungguhnya kalau kita selalu merespon secara demikian, itu artinya kita adalah seorang pecundang.

* * *

Peristiwanya tidak penting, tetapi respon atas peristiwa tersebutlah yang penting. Kiranya jiwa kita dihentakkan dan diteguhkan dengan kisah Jean-Dominique Bauby yang luar biasa untuk menjadi manusia tahan uji dan kokoh menghadapi semua peristiwa yang terjadi.

Comments

  1. Anonymous8:37 AM

    Nice story. Semoga kita bisa menjadi Jean yg gak pernah menyerah dengan keadaan. :)

    ReplyDelete
  2. Dewi dan Meli ... kadang-kadang aku malu dengan perkakas tubuh yang lengkap kita kadang mudah menyerah. Semoga kisah Jean inspiring selalu yah ..

    ReplyDelete
  3. Hallo... :) Wah, postingnya bagus bgt nih... :clapping:

    Iya tuh, kadang orang kena dikit permasalahan aja udah mental.... . Kisah Jean bagus juga untuk meng-inspire orang2... :) Mirip sm kisah Tony Melendez yg sejak lahir ga punya tangan, tp akhirnya dia jd sukses.... :)

    ReplyDelete
  4. an inspiring story, jadi inget "well done is better than well said", kudu say thanks nih buat posting-an yg ky gini...

    ReplyDelete
  5. Maria: Amin ... kita dukung selalu

    Zilko: Ceritain dong tentang Tony M [yang dari Selandia Baru itu bukan?]

    Cyntha: Setuju sekali. Thanks juga

    ReplyDelete
  6. Anonymous9:05 AM

    dulu Kuntowijoyo juga lumpuh terkena stroke tetapi masih bisa menulis dengan di bantu isterinya. jadi isetrinyalah yg mengetik. cerpen2 dan tulisannya masih memukau dalam keadaan seperti itu.
    salam kenal kembali hendri. nice posting.

    -maknyak-
    http://serambirumahkita.blogspot.com

    ReplyDelete
  7. Wah ... ternyata banyak contoh yah, yang menyatakan dan mengatakan sebuah kemalangan bukanlah penghalang bagi kita untuk berprestasi.

    Kadang-kadang kitalah yang malas ...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pamali

Sedang membantu menyapu rumah. Saat sapuan mendekat pintu depan, istri langsung ambil alih sapu kemudian balikkan arah sapuan ke dalam rumah. Aku : Lho, ngapain sapu ke dalam? Istri : Kalau malam-malam sapu gak boleh ke depan. Ntar rejekinya ikut kesapu ...' * * * Aku percaya, mayoritas teman yang membaca kisah singat di atas akan tertawa -paling tidak tersenyum- sambil mengaku pernah menjadi 'korban' nasehat serupa. Paling tidak begitulah pengakuan sebagian temanku waktu aku melontarkan hal ini sebagai status. Nasehat yang terkenal ampuh untuk membuat kita 'diam' dan 'taat' waktu kecil karena di dalamnya terdapat unsur dan maksud untuk menakut-nakuti. Belakangan setelah kita dewasa kita mengenalnya sebagai nasehat pamali, yang kalau kita analisa dengan nalar ada maksud logis di balik nasehat tersebut. Sebagai contoh. Nasehat yang mengatakan kita tidak boleh menyapu keluar di malam hari karena rejeki akan keluar juga. Kemungkinan maksud nasehat ini dilatarbe...

Belajar Berenang Saat Kepala 3? Its Possible!

Salah satu hal yang mungkin tidak banyak orang tahu tentang aku adalah aku baru bisa berenang saat usiaku menginjak kepala 3. Ups ... aku baru saja membeberkan satu rahasia tentang diriku hehehe. Meskipun aku lahir dan besar di kampung yang notebene banyak airnya (baca: sungai), aku tidak bisa berenang. Dan ketidakbisaanku ini aku pelihara sampai desawa. Lantas, bagaimana ceritanya akhirnya aku bisa berenang? Sederhana saja. Semuanya berawal saat anak pertamaku menginjak usia Balita. Layaknya kesukaan para bocah, mereka selalu punya ketertarikan yang besar akan air yang menggenang (baca: kolam renang). Awalnya aku tidak terusik dengan nir-dayaku berenang saat menemani anakku ke kolam renang. Aku masih bisa menikmati ikut nyemplung di kolam anak-anak sambil menggendong dan menemani anaku di sana. Tetapi lama-lama, ketika anakku mulai bosan di habitatnya dan pengen terjun ke kolam orang dewasa, aku baru sadar. Ditambah dengan perasaan 'orang lain melihat' (kegeerank...

Introvert yang Memberontak

"Hen, kamu pilih mana. Lembur sampai jam 11 malam atau pergi meeting dengan klien?" Seandainya pertanyaan di atas dilontarkan 8 tahun yang lalu, saya pasti memilih untuk lembur. Tetapi kalau dilontarkan detik ini juga, dengan mantap saya akan memilih meeting dengan klien. Kenapa bisa begitu? Aku adalah seorang introvert yang cenderung ekstrim. Jejak hidupku menceritakan hal tersebut. Waktu SMA aku mengambil jurusan A1 (Fisika) yang notebene banyak hitungan. Masuk kuliah, aku ambil komputer. Pekerjaan pertama? Tidak jauh-jauh. Dengan alasan idealis, aku menekuni pekerjaan yang berhubungan dengan komputer seperti programming, system, trouble shooter, dll. Bisa dikatakan, aku sangat menikmati percumbuanku dengan 'mesin'. Keseharianku juga mengisahkan hal yang sama. Aku lebih suka mengurung diri di kamar dari pada berha-hi-ha-hi dengan banyak orang. Ketika diajak untuk ikut kegiatan-kegiatan yang mengharuskan aku berinteraksi dengan banyak orang, aku cen...