Sebenarnya hari ini aku mau bercerita lain, tetapi entah kenapa ada bisikan yang kuat menyuruhku untuk menulis yang satu ini. Sebuah kisah yang pernah aku dapatkan via milis dan coba aku ceritakan versiku dengan penuturan aku. Silakan menikmati :)
* * *
Aku adalah seorang warga biasa, tidak pernah mengecap pendidikan tingkat tinggi, dan pekerjaanku sehari-hari adalah sebagai seorang guru. Tapi aku mempunyai sebuah impian yang kata teman-teman serta kerabatku adalah impian yang sangat mustahil, yaitu ingin menjadi seorang astronot. Ketertarikanku dengan dunia luar angkasa sangatlah kuat, dan kebetulan mata pelajaran yang aku ajarkan juga berkaitan dengan hal tersebut.
Sebuah pengumuman di surat kabar sepertinya menjawab impianku. Yah ... pengumuman dari gedung putih yang mencari seorang warga biasa untuk terlibat dalam proyek luar angkasa. Sebuah proyek untuk menyaingi negeri tetangga dan proyek ambisius untuk menunjukkan kedigdayaan negeriku. Hal yang membuat aku merasa yakin aku bisa mencapai impianku adalah salah satu syaratnya adalah seorang guru.
Wow ... bergegas aku mendaftarkan diri, mengirimkan resumeku dan menceritakan impian serta ketertarikanku akan dunia luar. Satu hari ... dua hari ... tiga hari ... penantianku akan jawaban dari Washington terasa begitu lama. Sampai suatu hari, ketika aku mengintip kotak suratku ... Ada sebuah amplop berlogo NASA nangkring dengan manis di sana. Yah ... aku dipanggil sebagai calon untuk test.
Bisa dibayangkan betapa gembiranya hatiku saat itu. Segera aku mengajukan cuti khusus ke sekolahku, meminta doa restu dari keluarga, dan pamit dengan teman-teman seraya berujar, impianku bukanlah sebuah kemustahilan. Lihat saja, akan aku tunjukkan bahwa aku akan terbang ... ke luar angkasa.
Sesampainya aku di NASA, tertegun aku melihat calon lainnya yang juga mempunyai impian seperti diriku. 43.000 orang, sebuah angka yang luar biasa, dan itu berarti aku harus menyisihkan sebanyak 42.999 pelamar lainnya. Rasa kecut dan pesimis sempat membayangi diriku. Namun, mengingat inilah satu-satunya kesempatan bagiku untuk meraih mimpiku, dengan langkah tegar aku mengikuti tes seleksi.
Tahap demi tahap ujian aku lewati. Uji klaustrofobi, simulator, latihan ketangkasan, percobaan mabuk udara dan berbagai tes lain aku ikuti dengan semangat. Dan perlahan jumlah peserta mulai menciut. Dari 43.000 menjadi kelompok 20.000, berkurang lagi menjadi kelompok 10.000 ... hingga sampailah kelompok 100 aku tetap in the track. Ujian akhir akan dilaksanakan, dan dilakukan di Keneddy Space Center.
Nggak terbayang betapa bahagianya hatiku saat itu. The final test akhirnya dilaksanakan, dan aku merasa melewatinya dengan sukses. Dalam hatiku, keyakinan yang kuat bahwa aku yang terpilih begitu bergema. Yah ... impianku semakin nyata.
Hingga hari pengumuman, semalaman aku tidak bisa tidur. Pikiran berkelana dan menjangkau luar angkasa bermain terus di benakku. Sampai paginya, dengan semangat mengebu-gebu aku datangi tempat pengumumannya. Dan ... sebuah berita yang ternyata menghancurkan hatiku ... nama yang tertera di papan bukan namaku. Dan, NASA ternyata memilih Christina McAufliffe.
Batinku menjerit, jiwaku berteriak. Kenapa? Kenapa bukan aku yang terpilih? Apa ada yang kurang dalam dirinku? Mengapa aku diperlakukan dengan kejam? Kenapa Tuhan tidak adil kepadaku?
Dengan membawa kekalahan, impian yang hancur, terjerembab dalam depresi, rasa percaya diri lenyap, dan amarah yang menggumpal aku pun pulang ke kotaku. Tidak berani aku mengangkat kepalaku saat menginjakkan kaki untuk pertama kalinya, yah ... aku adalah seorang pecundang ...
* * *
Selasa, 28 Januari 1986, aku berkumpul bersama teman-teman untuk melihat TV yang menyiarkan langsung sebuah momen yang akan menjadi sejarah baru. Detik demi detik berjalan begitu lambat, dan aku sampai detik ini masih belum bisa menerima bahwa bukan akulah yang duduk di pesawat luar angkasa tersebut. Rasa percaya diriku masih hancur, amarahku akan NASA masih bergelora di hati, sampai akhirnya ... tujuh puluh tiga detik ketika diluncurkan, duar .... ledakan besar terdengar dengan nyala api yang terang ... CHALLENGER MELEDAK ... dan menewaskan semua penumpangnya.
Aku terpaku, tidak bisa berkata-kata, lidahku kelu ... dan air mataku mulai menetes. Sayup-sayup terdengar, "Semua ini terjadi karena suatu alasan."
Yah ... aku, Frank Slazak, baru menyadari ada maksud lain mengapa aku tidak terpilih dalam penerbangan itu. Tuhan memiliki alasan lain untuk kehadiranku di bumi ini.
* * *
Kadang begitulah diri kita ketika diperhadapkan kepada sebuah "kegagalan". Kita merasa tidak adil, protes, marah, kecewa, mulai depresi, sampai kehilangan percaya diri. Tetapi sadarkah kita ternyata di balik semua itu ada sebuah rencana lain yang begitu indah tercetak dalam jalur kehidupan kita?
"Tidak semua yang kita inginkan, yang kita anggap baik itu terjadi bagi kita, Tuhan-lah yang tahu apa yang terbaik bagi kita."
* * *
Aku adalah seorang warga biasa, tidak pernah mengecap pendidikan tingkat tinggi, dan pekerjaanku sehari-hari adalah sebagai seorang guru. Tapi aku mempunyai sebuah impian yang kata teman-teman serta kerabatku adalah impian yang sangat mustahil, yaitu ingin menjadi seorang astronot. Ketertarikanku dengan dunia luar angkasa sangatlah kuat, dan kebetulan mata pelajaran yang aku ajarkan juga berkaitan dengan hal tersebut.
Sebuah pengumuman di surat kabar sepertinya menjawab impianku. Yah ... pengumuman dari gedung putih yang mencari seorang warga biasa untuk terlibat dalam proyek luar angkasa. Sebuah proyek untuk menyaingi negeri tetangga dan proyek ambisius untuk menunjukkan kedigdayaan negeriku. Hal yang membuat aku merasa yakin aku bisa mencapai impianku adalah salah satu syaratnya adalah seorang guru.
Wow ... bergegas aku mendaftarkan diri, mengirimkan resumeku dan menceritakan impian serta ketertarikanku akan dunia luar. Satu hari ... dua hari ... tiga hari ... penantianku akan jawaban dari Washington terasa begitu lama. Sampai suatu hari, ketika aku mengintip kotak suratku ... Ada sebuah amplop berlogo NASA nangkring dengan manis di sana. Yah ... aku dipanggil sebagai calon untuk test.
Bisa dibayangkan betapa gembiranya hatiku saat itu. Segera aku mengajukan cuti khusus ke sekolahku, meminta doa restu dari keluarga, dan pamit dengan teman-teman seraya berujar, impianku bukanlah sebuah kemustahilan. Lihat saja, akan aku tunjukkan bahwa aku akan terbang ... ke luar angkasa.
Sesampainya aku di NASA, tertegun aku melihat calon lainnya yang juga mempunyai impian seperti diriku. 43.000 orang, sebuah angka yang luar biasa, dan itu berarti aku harus menyisihkan sebanyak 42.999 pelamar lainnya. Rasa kecut dan pesimis sempat membayangi diriku. Namun, mengingat inilah satu-satunya kesempatan bagiku untuk meraih mimpiku, dengan langkah tegar aku mengikuti tes seleksi.
Tahap demi tahap ujian aku lewati. Uji klaustrofobi, simulator, latihan ketangkasan, percobaan mabuk udara dan berbagai tes lain aku ikuti dengan semangat. Dan perlahan jumlah peserta mulai menciut. Dari 43.000 menjadi kelompok 20.000, berkurang lagi menjadi kelompok 10.000 ... hingga sampailah kelompok 100 aku tetap in the track. Ujian akhir akan dilaksanakan, dan dilakukan di Keneddy Space Center.
Nggak terbayang betapa bahagianya hatiku saat itu. The final test akhirnya dilaksanakan, dan aku merasa melewatinya dengan sukses. Dalam hatiku, keyakinan yang kuat bahwa aku yang terpilih begitu bergema. Yah ... impianku semakin nyata.
Hingga hari pengumuman, semalaman aku tidak bisa tidur. Pikiran berkelana dan menjangkau luar angkasa bermain terus di benakku. Sampai paginya, dengan semangat mengebu-gebu aku datangi tempat pengumumannya. Dan ... sebuah berita yang ternyata menghancurkan hatiku ... nama yang tertera di papan bukan namaku. Dan, NASA ternyata memilih Christina McAufliffe.
Batinku menjerit, jiwaku berteriak. Kenapa? Kenapa bukan aku yang terpilih? Apa ada yang kurang dalam dirinku? Mengapa aku diperlakukan dengan kejam? Kenapa Tuhan tidak adil kepadaku?
Dengan membawa kekalahan, impian yang hancur, terjerembab dalam depresi, rasa percaya diri lenyap, dan amarah yang menggumpal aku pun pulang ke kotaku. Tidak berani aku mengangkat kepalaku saat menginjakkan kaki untuk pertama kalinya, yah ... aku adalah seorang pecundang ...
* * *
Selasa, 28 Januari 1986, aku berkumpul bersama teman-teman untuk melihat TV yang menyiarkan langsung sebuah momen yang akan menjadi sejarah baru. Detik demi detik berjalan begitu lambat, dan aku sampai detik ini masih belum bisa menerima bahwa bukan akulah yang duduk di pesawat luar angkasa tersebut. Rasa percaya diriku masih hancur, amarahku akan NASA masih bergelora di hati, sampai akhirnya ... tujuh puluh tiga detik ketika diluncurkan, duar .... ledakan besar terdengar dengan nyala api yang terang ... CHALLENGER MELEDAK ... dan menewaskan semua penumpangnya.
Aku terpaku, tidak bisa berkata-kata, lidahku kelu ... dan air mataku mulai menetes. Sayup-sayup terdengar, "Semua ini terjadi karena suatu alasan."
Yah ... aku, Frank Slazak, baru menyadari ada maksud lain mengapa aku tidak terpilih dalam penerbangan itu. Tuhan memiliki alasan lain untuk kehadiranku di bumi ini.
* * *
Kadang begitulah diri kita ketika diperhadapkan kepada sebuah "kegagalan". Kita merasa tidak adil, protes, marah, kecewa, mulai depresi, sampai kehilangan percaya diri. Tetapi sadarkah kita ternyata di balik semua itu ada sebuah rencana lain yang begitu indah tercetak dalam jalur kehidupan kita?
"Tidak semua yang kita inginkan, yang kita anggap baik itu terjadi bagi kita, Tuhan-lah yang tahu apa yang terbaik bagi kita."
bersyukur,masih diberi kesempatan utk menikmati kehidupan :D
ReplyDeletejadi jangan selalu bilang "Tuhan tidak adil" ya?kakakaka
Haloo, rajin amat pagi2 udah ngeblog hihi. Betul Hen , kita kadang suka protes sama Tuhan kalau lagi mengalami kesusahan pdhl kadang salib yg kita pikul belumlah seberapa dibanding salib Kristus dan tdk menyadari bahwa kita sedang dibentuk oleh-Nya.Tapi itulah kita spt bangsa israel yg suka mengeluh pdhl kita dlm perjalanan ke tanah perjanjian.
ReplyDeleteiya yah kok bukan gue yah kakkak
ReplyDeleteAmin. He works in a mysterious way!
ReplyDeleteMeli: 'tul ... makanya kita harus sering-sering bersyukur :)
ReplyDeleteLisa: Iya neh, kayak minum obat aja 3x sehari he he ...
Btw, setuju banget, bahwa kita kadang mau enaknya saja, padahal yang disediakan sebenarnya bagi kita yang terbaik :)
Bronx: Iya yah ... *bingung asli*
Dewi: Amin juga ... Bukankah rencanaNya selalu yang terindah?
Bev: Iya tuh, kalo u ke oxford / cambrige, kita belum tentu kenal. Hayo ... betul ndak
*ntar aku minta sulamannya yah :)*
Emang tuh, kadang emang ga disangka2 kalo keberuntungan datengnya melalui yg sepintas kayak kesialan.... :)
ReplyDeleteZilko: Yap ... setuju-tuju sekali :)
ReplyDeleteHendri,
ReplyDeleteCerita ini dulu sdh pernah saya baca..tapi saya selalu senang mengulangi karena inti dari cerita itu membuat kita bersyukur dengan kehidupan yang dihadiahkan Tuhan kepada kita.
dan yg terbaik buat penumpang challenger adalah meninggal. karena kalo lebih loama idup, bakal lebih byk dosa. lho ?? ngawur aja aku ini hihihi..saya juga tidak pernah menyesali takdir,pasti Tuhan punya rencana.
ReplyDeletesetuju banget ama falsafahnya.
ReplyDeleteSisca: Yah ... setuju banget. Intinya bersyukur atas hidup ini, karena itu adalah anugerah terbesar buat kita ...
ReplyDeleteDian: Manusia punya rencana, tapi Tuhanlah yang menentukan. Setuju?
Tenfarms: Yo'i ... bukan setuju, malah berpuluh-puluh tujuh he he
Waw you rocks! Nice post btw.
ReplyDeleteGw asli setuju sama yang satu ini. Tapi saat manusia itu sendiri dilanda kesusahan, kecenderungan untuk menjadi dewasa suka hilang dan biasanya berakhir dengan kata "Kau tidak adil.".
Manusiawi, saya bilang.
Yap ... begitulah manusia, pengennya minta sesuai keinginnannya. Btw, berbahagialah kita yang mengerti dan memahami hikmah di balik semuanya itu :)
ReplyDelete