Skip to main content

Keluarga

"Hen, seandainya kamu ditawarin pekerjaan. Gajinya 2 kali lipat gajimu sekarang. Tapi hari Sabtu harus masuk. Kamu ambil tidak pekerjaan tersebut?"
"Sabtu kerja? Setengah hari atau full?"

"Full. Seperti hari biasa"
"Hmm ... Kalo kerja 1/2 hari sih mungkin aku ambil. Tapi kalau harus masuk full ... tidaklah ..."

"Kenapa?"
"Jelaslah. Hari Sabtu dan Minggu khan waktunya untuk keluarga. Setelah setiap hari waktu yang tersedia untuk keluarga begitu sempit, masa harus ditambah Sabtu kehilangan sehari lagi bersama keluarga. Tidak ah ..."

* * *

Itulah sepenggal percakapan singkatku dengan rekan kerjaku beberapa hari yang lalu saat kita siap-siap pulang kerja. Aku tidak tahu apa komen awal teman-teman setelah membaca percakapan singkat di atas. Mungkin ada yang menyimpulkan seorang Hendri itu terlalu idealis, atau terlalu berteori, ataupun terlalu naif dengan menolak tawaran seperti itu.

Bukan pula maksudku meremehkan dan menyepelekan masalah uang dengan menolak sebuah peluang dan kesempatan untuk memperkaya rekening kita hanya dengan tameng keluarga. Bukan niatku juga mengatasnamakan keluarga hingga kelihatannya aku kurang ngoyo dan tangguh dalam mengusahakan rupiah, yang kata banyak orang adalah faktor utama penentu kebahagiaan sebuah keluarga. BUKAN.

Sebuah kata: KELUARGA, bagiku adalah sekumpulan huruf yang terangkai menjadi begitu indah menjadi sebuah kata yang sangat bermakna artinya. Keluarga adalah sebuah persekutuan terkecil di mana di dalamnya segala hal dan peristiwa terjadi begitu saja dalam rangka sebuah penyelenggaraan kehidupan. Di dalamnya ada sukacita, canda tawa, kebahagiaan, kegembiraan, serta tidak ketinggalan juga terdapat air mata sebagai racikan bumbu yang membuat keluarga begitu layak dan pantas untuk dirindukan dan dikangeni.

Keluarga adalah tempat yang paling hangat, akrab, dan bersahabat sebagai tempat istimewa untuk mencari, mendapatkan, dan membentuk diri kita dalam rangka mencapai tujuan dan esensi utama kehidupan ini. Di dalamnya ada dorongan, nasehat, wejangan, dan semangat kebersamaan yang membuat para penghuninya merasa begitu bergairah dan percaya diri dalam mengejar dan menggapai apa yang dicita-citakan bersama. Dengan kata lain, keluarga juga dapat diumpamakan sebagai sebuah arena terbuka di mana didalamnya terjadi serangkaian proses pembelajaran yang mampu mentransformasikan diri kita menjadi diri kita yang terbaik.

Dan yang paling utama, keluarga adalah sebuah tempat yang paling berharga untuk dikenang, diingat, dan menjadi model ke depan bagi penerus keluarga kita: anak-anak. Mau jadi apa anak kita, berkembang seperti apa anak kita, bertumbuh ke arah bagaimana anak kita, semuanya ditentukan sedari awal dalam sebuah lembaga yang dinamakan keluarga. Jadi tidak salah khan, aku begitu menggagungkan dan mensakralkan yang namanya keluarga?

Sayangnya, banyak yang tidak memahami dan menyadarinya, sehingga berkembang anggapan bahwa materilah satu-satunya faktor penentu kebahagiaan sebuah keluarga. Mereka mengira, semakin banyak jumlah nol di rekening mereka, semakin menumpuk dan mengkilap barang-barang simpanan mereka, itu sekaligus sebagai tanda semakin makmur dan hebat sebuah keluarga.

Alhasil, habis-habisan mereka bekerja. Tidak sedikit yang terjebak menjadi seorang workaholic. Mereka tidak mempedulikan waktu dalam bekerja sehingga lupa bahwa di samping mereka ada insan-insan yang sangat mengharapkan sedikit waktu disisakan dan disisihkan untuk menemani persekutuan terkecil ini. Mereka begitu berambisi meraih semua yang dirasa sanggup untuk digapai sehingga tidak menyadari bahwa ada jiwa-jiwa di sekitarnya yang sangat membutuhkan sentuhan, pelukan, kecupan, dan menikmati indahnya kasih dalam sebuah ruang yang dinamakan keluarga.

Bukannya aku mengatakan sikap demikian salah. BUKAN. Tapi banyak sekali yang terjebak dalam budaya konsumerisme dan materialisme, hingga mereka berpikir segala sesuatu tolak ukurnya adalah harta, yang secara ironi mereka harus mengorbankan satu-satunya harta mereka yang paling berharga: keluarga. Dan realitanya kita bisa lihat dengan gamblang dan jelas, bagaimana banyak keluarga yang retak, berantakan, hingga hancur hanya karena kurang memperhatikan keluarga.

Janganlah pernah terperosok dalam dunia itu ... sedapat mungkin hindarilah. Mengutip peringatan yang selalu kita baca di jalan raya: utamakanlah keluarga :)

* * *

"Apakah kita termasuk orang-orang yang naif, dengan menolak hal demikian dengan alasan keluarga?"
"Tidaklah ..."

"Trus, bukankah itu merupakan peluang untuk mengumpulkan tabungan yang notebene untuk keluarga kita juga? Kalau terus-terusan bersikap begitu, kapan kita bisa istilahnya berkecukupan dalam hal materi?"

...
...
...
...

"Aku kok yakin yah, kalau memang sudah diatur dari Sono, rejeki kita pasti tidak akan jauh dari kita. Jadi, tanpa harus mengorbankan keluarga, kalau emang sudah bagian kita, pasti datang kepada kita juga. Yang penting, bagaimana kita hidup dengan bersyukur dan menikmati kondisi kita sekarang ... itu sudah lebih dari cukup ..."

Comments

  1. Anonymous8:29 AM

    wahhhh...Hendri bapak yg baek nih. ;)

    ReplyDelete
  2. Anonymous10:39 AM

    gua sih pengennya dengan gaji gua sekarang kerjanya 5 hari aja... biar ada waktu buat yang disayang.. :)
    udah 2 tahun gak naik gaji nih... hiks2x
    tapi bersyukur masih dicukupkan sama yang diatas. :)

    ReplyDelete
  3. Di The Apprentice juga Donald Trump bilang keluarga itu penting sekali... :) Banyak orang kayak yg tidak sepatutnya bersyukur karena nggak memperhatikan keluarganya. Sekaya apapun orang itu klo keluarganya gak bahagia ya percuma aja... :)

    ReplyDelete
  4. betul katamu hen..uang masih bisa di cari lagi....tapi untuk memperhatikan keluaraga juga sangatlah penting karna wakttu akan berputar ke depan...

    ReplyDelete
  5. setuju Hen/...keluarga diatas segalanya..

    seneng deh baca postingan dari berjenis kelamin laki2 seperti dirimu yg memikirikan keutuhan dan kebahagiaan keluarga

    ReplyDelete
  6. Anonymous12:42 PM

    setuju hen.. keluarga no satu, laen cerita nya kalo gaji 2 kali, tapi sabtu libur yah.. trus tempat kerja deket.. wah asik banget tuh..

    ReplyDelete
  7. Famili is numero uno, setujuuu!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pamali

Sedang membantu menyapu rumah. Saat sapuan mendekat pintu depan, istri langsung ambil alih sapu kemudian balikkan arah sapuan ke dalam rumah. Aku : Lho, ngapain sapu ke dalam? Istri : Kalau malam-malam sapu gak boleh ke depan. Ntar rejekinya ikut kesapu ...' * * * Aku percaya, mayoritas teman yang membaca kisah singat di atas akan tertawa -paling tidak tersenyum- sambil mengaku pernah menjadi 'korban' nasehat serupa. Paling tidak begitulah pengakuan sebagian temanku waktu aku melontarkan hal ini sebagai status. Nasehat yang terkenal ampuh untuk membuat kita 'diam' dan 'taat' waktu kecil karena di dalamnya terdapat unsur dan maksud untuk menakut-nakuti. Belakangan setelah kita dewasa kita mengenalnya sebagai nasehat pamali, yang kalau kita analisa dengan nalar ada maksud logis di balik nasehat tersebut. Sebagai contoh. Nasehat yang mengatakan kita tidak boleh menyapu keluar di malam hari karena rejeki akan keluar juga. Kemungkinan maksud nasehat ini dilatarbe...

Belajar Berenang Saat Kepala 3? Its Possible!

Salah satu hal yang mungkin tidak banyak orang tahu tentang aku adalah aku baru bisa berenang saat usiaku menginjak kepala 3. Ups ... aku baru saja membeberkan satu rahasia tentang diriku hehehe. Meskipun aku lahir dan besar di kampung yang notebene banyak airnya (baca: sungai), aku tidak bisa berenang. Dan ketidakbisaanku ini aku pelihara sampai desawa. Lantas, bagaimana ceritanya akhirnya aku bisa berenang? Sederhana saja. Semuanya berawal saat anak pertamaku menginjak usia Balita. Layaknya kesukaan para bocah, mereka selalu punya ketertarikan yang besar akan air yang menggenang (baca: kolam renang). Awalnya aku tidak terusik dengan nir-dayaku berenang saat menemani anakku ke kolam renang. Aku masih bisa menikmati ikut nyemplung di kolam anak-anak sambil menggendong dan menemani anaku di sana. Tetapi lama-lama, ketika anakku mulai bosan di habitatnya dan pengen terjun ke kolam orang dewasa, aku baru sadar. Ditambah dengan perasaan 'orang lain melihat' (kegeerank...

Introvert yang Memberontak

"Hen, kamu pilih mana. Lembur sampai jam 11 malam atau pergi meeting dengan klien?" Seandainya pertanyaan di atas dilontarkan 8 tahun yang lalu, saya pasti memilih untuk lembur. Tetapi kalau dilontarkan detik ini juga, dengan mantap saya akan memilih meeting dengan klien. Kenapa bisa begitu? Aku adalah seorang introvert yang cenderung ekstrim. Jejak hidupku menceritakan hal tersebut. Waktu SMA aku mengambil jurusan A1 (Fisika) yang notebene banyak hitungan. Masuk kuliah, aku ambil komputer. Pekerjaan pertama? Tidak jauh-jauh. Dengan alasan idealis, aku menekuni pekerjaan yang berhubungan dengan komputer seperti programming, system, trouble shooter, dll. Bisa dikatakan, aku sangat menikmati percumbuanku dengan 'mesin'. Keseharianku juga mengisahkan hal yang sama. Aku lebih suka mengurung diri di kamar dari pada berha-hi-ha-hi dengan banyak orang. Ketika diajak untuk ikut kegiatan-kegiatan yang mengharuskan aku berinteraksi dengan banyak orang, aku cen...