Skip to main content

Ang Pao

Kebahagiaan terbesar bagi anak-anak malam menjelang ko nyian [ada juga pagi-pagi di hari ko nyian] adalah mendapat amplop berwarna merah yang dinamakan ang pao. Bagi mereka, detik, menit, dan jam menjelang kebahagiaan tersebut hampir bisa dipastikan berjalan begitu pelan dan begitu lambat.

Seperti itulah yang aku alami waktu kecil. Mendapat ang pao berarti kaya mendadak. Uang jajan yang biasanya langsung habis untuk beli mie, baso, dan minum di kantin sekolah tidak ada bandingannya dengan satu atau dua lembar uang dengan bentuk dan warna yang tidak biasanya aku terima sehari-hari. Dengan itu, aku tidak segan dan pikir-pikir lagi nambah satu mangkok mie lagi kalo belum kenyang. Aku juga dengan pede jalan-jalan bersama teman sebaya ke pusat kota, beli ini, beli itu, curi-curi nonton, dan membeli apa saja yang selama ini dirasa sangat mustahil.

Dulu, aku bisa mendapat 10-15 ang pao. Mulai dari kakek-nenek, papa-mama, paman, tante, sahabat papa, dan teman kerja papa. Yang pertama kasih ang pao adalah papa-mama. Itu selalu diberikan setelah makan malam bersama. Dan ada satu syarat, ang pao itu baru boleh dibuka pas ko nyian. Jadi ada semacam kegelisahan tersendiri, dan akal ini dipaksa untuk memikirkan trik karena pengen tahu, berapa sih uang yang aku terima kali ini he he ...

Pernah, sama kakak dapat ide amatiran [namanya juga anak-anak]. Setelah dibagikan, 5 menit kemudian kita berdua dengan gerakan serentak. 'Muahhhh ... ngantuk yah. Iya ... iya .. udah malam nih [padahal baru jam 6 ato 7]. Tidur yuk.' Papa cuma diam aja. Setelah pamit sana-pamit sini, kita pun langsung ngacir ke kamar, kunci pintu, dan ... Dengan semangat 45, langsung kita buka ang pao tersebut, tanpa kita sadari dari ventilasi kamar, ada sepasang mata yang memperhatikan apa yang kita lakukan.

Hmmm ... [suara batuk]. Kita kaget, lihat kiri-kanan tidak ada orang.
Hmmmm [suara batuk lagi] ... Kita udah mulai curiga, ada yang berbahaya nih.
Hmmmm [suara batuk lebih keras] ... Dengan perlahan-lahan, kita layangkan mata ke ventilasi ...

Oh my God, itu papa. Akhirnya dengan perasaan bersalah, kita keluar dari kamar, malu karena ketahuan pura-pura mau tidur, padahal niatnya pengen cepat-cepat lihat isi ang pao he he ...

* * *

"Yank ... ntar aku kasih kamu ang pao juga yah," kataku pada istri kemarin menjelang tidur.
"Ndak mau," jawab istri.
"Lho kenapa?" tanyaku bingung.
"Yah ... soalnya ntar uang ang paonya juga dipakai bersama. Ingat taon kemarin, kamu kasih aku ang pao juga. Aku senang. Tapi, waktu kita jalan-jalan dan makan di mal, kamu belum sempat ambil uang cash, lantas kamu bilang, 'bayarnya pake uang ang pao-mu dulu yah'. Demikian juga waktu kita belanja, uang cash kurang. 'Eh ... pake uang ang pao-mu dulu dong'. Jadi ang pao itu cuma formalitas aja, biar aku senang ..."

He he ... jadi malu aku mendengarnya. Makanya, taon ini aku bertekad untuk tidak sekedar menyenangkannya saja, tapi benar-benar membahagiakannya dengan membiarkan dia menggunakan ang pao dariku seutuhnya.

* * *

Aku baru menyadari, taon ini sudah taon ke-6 aku tidak mendapat ang pao lagi. Mmm ... memang udah saatnya bagiku untuk membagi, memberi, dan menciptakan memori kebahagiaan kepada keponakan-keponakanku akan indahnya ko nyian. Dan yang terpenting, aku ingin mengatakan bahwa itu adalah bentuk kasih Tuhan yang sudah memberkati mereka karena sudah menjadi anak yang takut akan Tuhan dan taat kepada orang tua ... Harapanku pesan ini sampai. Semoga ...

Comments

  1. jadi inget waktu dulu kalo dapet angpao pasti bandingin ama temens ato sodara punya sapa lebih banyak hahahahah...tapi kalo sekarang gantian yg harus kasih angpao,,,,nasib....
    btw met kenal yo!!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pamali

Sedang membantu menyapu rumah. Saat sapuan mendekat pintu depan, istri langsung ambil alih sapu kemudian balikkan arah sapuan ke dalam rumah. Aku : Lho, ngapain sapu ke dalam? Istri : Kalau malam-malam sapu gak boleh ke depan. Ntar rejekinya ikut kesapu ...' * * * Aku percaya, mayoritas teman yang membaca kisah singat di atas akan tertawa -paling tidak tersenyum- sambil mengaku pernah menjadi 'korban' nasehat serupa. Paling tidak begitulah pengakuan sebagian temanku waktu aku melontarkan hal ini sebagai status. Nasehat yang terkenal ampuh untuk membuat kita 'diam' dan 'taat' waktu kecil karena di dalamnya terdapat unsur dan maksud untuk menakut-nakuti. Belakangan setelah kita dewasa kita mengenalnya sebagai nasehat pamali, yang kalau kita analisa dengan nalar ada maksud logis di balik nasehat tersebut. Sebagai contoh. Nasehat yang mengatakan kita tidak boleh menyapu keluar di malam hari karena rejeki akan keluar juga. Kemungkinan maksud nasehat ini dilatarbe...

Belajar Berenang Saat Kepala 3? Its Possible!

Salah satu hal yang mungkin tidak banyak orang tahu tentang aku adalah aku baru bisa berenang saat usiaku menginjak kepala 3. Ups ... aku baru saja membeberkan satu rahasia tentang diriku hehehe. Meskipun aku lahir dan besar di kampung yang notebene banyak airnya (baca: sungai), aku tidak bisa berenang. Dan ketidakbisaanku ini aku pelihara sampai desawa. Lantas, bagaimana ceritanya akhirnya aku bisa berenang? Sederhana saja. Semuanya berawal saat anak pertamaku menginjak usia Balita. Layaknya kesukaan para bocah, mereka selalu punya ketertarikan yang besar akan air yang menggenang (baca: kolam renang). Awalnya aku tidak terusik dengan nir-dayaku berenang saat menemani anakku ke kolam renang. Aku masih bisa menikmati ikut nyemplung di kolam anak-anak sambil menggendong dan menemani anaku di sana. Tetapi lama-lama, ketika anakku mulai bosan di habitatnya dan pengen terjun ke kolam orang dewasa, aku baru sadar. Ditambah dengan perasaan 'orang lain melihat' (kegeerank...

Introvert yang Memberontak

"Hen, kamu pilih mana. Lembur sampai jam 11 malam atau pergi meeting dengan klien?" Seandainya pertanyaan di atas dilontarkan 8 tahun yang lalu, saya pasti memilih untuk lembur. Tetapi kalau dilontarkan detik ini juga, dengan mantap saya akan memilih meeting dengan klien. Kenapa bisa begitu? Aku adalah seorang introvert yang cenderung ekstrim. Jejak hidupku menceritakan hal tersebut. Waktu SMA aku mengambil jurusan A1 (Fisika) yang notebene banyak hitungan. Masuk kuliah, aku ambil komputer. Pekerjaan pertama? Tidak jauh-jauh. Dengan alasan idealis, aku menekuni pekerjaan yang berhubungan dengan komputer seperti programming, system, trouble shooter, dll. Bisa dikatakan, aku sangat menikmati percumbuanku dengan 'mesin'. Keseharianku juga mengisahkan hal yang sama. Aku lebih suka mengurung diri di kamar dari pada berha-hi-ha-hi dengan banyak orang. Ketika diajak untuk ikut kegiatan-kegiatan yang mengharuskan aku berinteraksi dengan banyak orang, aku cen...