Skip to main content

Pola Didik Anak yang Pas

Saya punya kerabat yang tinggal di luar kota. Kerabatku ini punya 2 anak yang sudah dewasa. Yang paling besar sudah bekerja, sedangkan kedua adiknya masih kuliah. Suatu hari saya main dan menginap di rumah kerabat saya itu. Karena sudah lama tidak ketemu, kita pun ngobrol banyak. Dari hulu ke hilir, ujung ke pangkal, segala topik yang nyangkut, kita obrolin.

Obrol punya obrol, sampai ke satu topik, kerabatku mencurahkan perasaannya akan perilaku anak-anaknya. Menurutnya, kedua anaknya itu adalah anak yang sama sekali tidak mandiri. Semuanya sangat tergantung sama mereka. Tidak mandiri di sini berarti benar-benar tidak mandiri. Sebagai contoh, anak sulungnya yang sudah bekerja, karena kebetulan kerja beda kota, tiap minggu pasti pulang ke rumah. Untuk apa? Untuk membawa cuciannya yang kotor. Menurut ceritanya, si anak tidak pernah tahu mau diapain baju-baju kotornya. Jadi tidak heran kalau anaknya ini selalu meluangkan waktu untuk pulang hanya supaya pakaian kotornya dicuci.

Saya tanya, kalau misalnya anaknya berhalangan pulang, bagaimana nasib pakaian kotornya? Kerabat saya menjawab, mau tidak mau istrinya yang ke sana. Kenapa tidak memakai mesin cuci? Anakku tidak tahu cara mengoperasikannya? Hah? Termangu-mangu saya mendengarnya.

Anaknya yang bungsu, yang masih kuliah juga tidak kalah parahnya. Karena masih tinggal bersama orangtua, kelihatannya baik-baik saja. Tetapi kalau ditelusuri lebih lanjut, anaknya yang kebetulan perempuan, tidak pernah dan bisa memasak. Apalagi kalau diminta bantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti cuci, ngepel, menyeterika, hampir dipastikan tidak kelar. Jadi semua kebutuhannya terlayani dengan baik, sebagian oleh sang Ibu, sebagian lagi oleh pembantu.

Karena penasaran dengan ketidakmandirian yang menurut saya sangat tidak masuk akal, saya pun menanyakan lebih lanjut, mencoba menelusuri akar permasalahannya kenapa hal ini bisa terjadi. Telusur punya telusur, ketemu.

Rupanya kerabat saya ini berasal dari latar belakang keluarga tentara. Karena ayahnya begitu disiplin dan keras, maka kerabat saya ini dididik dengan ekstrim ala tentara. Apa-apa harus mereka kerjakan. Kerabat saya menganalogikan pendidikan mereka itu layaknya kerja rodi yang tidak pernah habis. Nah, karena kerabat saya pernah mengalami tidak enaknya hidup dengan didikan seperti ini, dia punya janji: kalau saya sudah berkeluarga dan punya anak, saya akan mendidik anak saya berbeda sama sekali dengan saya dididik oleh orangtua saya. Hasilnya anak-anaknya sangat dimanja. Dari kecil segala keinginan anak-anaknya dipenuhi. Tidak memaksakan mereka untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berat. Hidup berkelimpahan dan bergelimang kasih sayang yang keliru. Makanya tidak heran sampai dewasa seperti sekarang anak-anak mereka masih sangat tergantung dengan orang tua mereka.

* * *
Kisah di atas adalah kisah yang saya dengar waktu saya berbicara dengan salah satu peserta training saya. Waktu itu kita ngobrol tentang pola asuh anak masa kini, di mana ada dua pola asuh yang bertentangan. Di satu sisi anak dididik dengan penuh disiplin. Sedangkan di kubu seberangnya anak dididik dengan penuh kemanjaan.

Karena ada dua pola asuh yang berseberangan, tentunya masing-masing punya argumen yang membela pola yang mereka pilih. Yang mendidik dengan disiplin beranggapan anak-anak sekarang harus dididik untuk hidup mandiri dan bisa memegang tanggungjawab. Jadi akan kelihatan seolah-olah orangtua yang menganut pola ini rada kejam, tidak mengerti dunia anak-anak yang memang perlu kemanjaan, dan kadang dibilang pola didik kolot.

Sedangkan pola yang memanjakan berargumen bahwa masa kecil anak adalah bermain. Jadi bebaskanlah mereka untuk menyalurkan kesenangan masa kecil mereka. Kalau perlu segala keinginan mereka dipenuhi saja karena memang itu adalah masanya mereka. Jadi tidak salah dong anak-anak dimanjakan.

Kalau kita melihat sekeliling, kelihatannya pola kedua yang memanjakan anak lebih mudah kita temui. Didukung dengan gaya hidup dewasa ini, di mana banyak orang tua yang karena sibuk bekerja, ada anggapan bahwa dengan memanjakan anak-anak dengan sejuta kenyamanan adalah bentuk penebusan rasa bersalah mereka karena tidak bisa memberikan waktu yang cukup untuk anak-anak mereka. Jadilah dengan mudah kita melihat anak-anak disuap dengan aneka mainan dan hadiah, dari boneka, gadget, sampai liburan ke luar negeri.

Bukannya saya tidak setuju dengan pola asuh anak yang memanjakan anak. Saya juga bukan pro dengan pola asuh yang mendidik dengan disiplin. Karena saya yakin tiap orang punya alasan mengapa mereka memilih pola asuh seperti itu. Tetapi sedapat mungkin, tidaklah ekstrim dalam memilih satu pola.

Kalau kita secara ekstrim mendidik anak supaya disiplin, dengan memberikan jadwal yang serba ketat, memberikan hukuman kalau ada pelanggaran, apalagi sampai pada hukuman fisik, maka itu akan membuat luka batin pada sang anak. Syukur kalau nilai yang ditanamkan berhasil. Tetapi kalau gagal, bisa rusak hidup mereka. Demikian juga kalau kita memanjakan anak secara ekstrim, bisa-bisa kasus yang diceritakan oleh peserta pelatihan saya yang terjadi. Tentunya kita tidak ingin hal itu terjadi bukan?

Jadi, bagaimanakah porsi yang pas untuk mendidik anak? Mungkin sebuah contoh sederhana di bawah ini bisa memberikan sedikit insight.

Bayangkanlah anak kita, dalam usia sekolah dasar, mendapatkan tugas sekolah melukis. Karena dalam kapasitas mereka, tentu kita tidak bisa mengharapkan anak kita melukis seindah dan sebagus lukisan orang dewasa –kecuali dia punya bakat-. Jangan karena kita ingin anak kita mendapatkan nilai sempurna, kita lalu turun tangan membantu dia melukis. Memang hasilnya bagus, tetapi itu tidak mendidik. Karena bukan tidak mungkin di kemudian hari saat dia dapat tugas, maka dia akan datang kepada kita untuk minta bantuan.

Tetapi tidak bisa juga kita bertindak seolah seorang kritikus seni, dengan memberikan intimidasi akan lukisannya. Saat kita melihat dia membuat lingkaran tetapi tidak bulat sempurna, tidaklah perlu kita menyuruh dia untuk menghapus-gambar-hapus-gambar-hapus-gambar, sampai-sampai membuat sebuah lingkaran saja perlu waktu yang lama. Saat mereka mewarnai, mereka pilih warna kuning. Terus kita paksakan mereka untuk menggantinya dengan warna hijau. Karena dengan berbuat demikian, sadar atau tidak sadar kita akan mematikan kreativitas dan keberanian mereka dalam bereksperimen.

Jadi yang paling pas itu seperti apa? Bebaskan mereka untuk melukis. Kalau ada hal yang kita rasa gak pas dengan lukisan mereka, arahkan dengan benar. Berikan logikanya. Kalau mereka kesulitan, bantulah dengan secukupnya.

Menurut saya yang paling penting dalam mendidik anak adalah seberapa banyak kehadiran dan keterlibatan kita di dalam aktivitas mereka. Tapi khan sulit, apalagi kalau kita harus bekerja dengan pola pergi saat matahari belum muncul dan pulang saat matahari sudah hilang. Iya, tetapi itulah tantangan yang harus kita hadapi. Kalau kita sudah memilih hidup seperti itu, haruslah kita kreatif mencari solusinya.

Satu hal yang perlu diluruskan adalah definisi mengenai waktu. Beralihlah dari kuantitas ke kualitas. Artinya, mungkin waktu yang kita punya untuk keluarga secara kuantitas mengecil. Tetapi maksimalkanlah waktu yang sempit itu dengan kualitas yang tinggi. Apalah artinya kita punya waktu yang berlimpah dengan keluarga dan anak, tetapi kita melantarkan kehadiran mereka dengan sibuk sendiri dengan aktivitas kita. Akan lebih berharga kalau kita hanya punya sedikit waktu, tetapi benar-benar kita curahkan seluruh perhatian kepada keluarga, terutama anak-anak kita.

Jadi, sekarang ada dua pertanyaan. Pertama, susahkah mendidik anak dengan porsi yang pas? Kedua, teman-teman dididik dengan pola seperti apa? [*]

Comments

Popular posts from this blog

Barang Baru

Kira-kira sebulan yang lalu, laptop saya mengalami masalah. Entah karena sudah tua, atau kebanyakan buka program, atau isinya udah penuh, mendadak laptop saya hang. Karena kurang sabar, langsung saja aku matiin dengan paksa. Ketika aku mulai menyalakannya lagi, berhasil ... Namun belum sempat aku klik tombol start, mendadak blue screen error muncul. Awalnya aku pikir itu error normal. Aku pun mematikannya lagi, kemudian restart. Windows menyarankanku memilih Safe Mode, aku pun mengikutinya. Namun, apa yang terjadi, tunggu punya tunggu, nanti detik demi detik, windows yang aku nantikan tidak muncul-muncul. Aku mulai panik ... karena secara pelan mulai terdengar suara berisik yang semakin lama semakin keras. Waduh ... fellingku berbicara kali ini harddisk-ku yang kena. Aku coba tenang, lalu mematikan laptop, dan menunggu sekitar 10 menit. Kembali aku coba nyalain ... dan benar, suara gemerisik harddisk membuatku patah arang ... terbayang sudah data-dataku yang bakalan lenyap [karena suda

Private

Sejak blogger menyempurnakan versi betanya, dari sekian perbaikan dan fitur baru yang diperkenalkan, ada satu fitur baru yang belakangan marak dimanfaatkan oleh para blogger. Fitur tersebut adalah blog readers. Aku yakin teman-teman sudah tahu apa fungsi fitur yang terletak di menu permission ini. Yap ... Fungsinya adalah men-setting blog menjadi private sehingga tidak semua orang berhak dan boleh bersantai di sana, tetapi hanyalah orang-orang pilihan yang di-choose atau di-invite yang bisa masuk dan ngopi di sana. Jadi janganlah heran kalau saja suatu saat Anda meng-klik sebuah blog, yang keluar adalah tulisan "blogger: permission denied; this blog is open for invited readers only", yang artinya Anda tidak diundang dan tidak diperbolehkan untuk mengintip isi blog tersebut. Jangan merasa kecewa, karena pasti ada alasan tertentu mengapa seseorang men-setting blog mereka dari semula open menjadi private. Jangan juga merasa patah hati, karena di balik privatisasi tersebut selalu

Sedang ingin bercinta

Wuihhh ... serem abiz yah judulnya: sedang ingin bercinta ... hahaha. Eit ... jangan berpikir yang macam-macam dulu, meskipun benar Hendri sekarang sedang berpuasa panjang dari aktivitas yang namanya bercinta, bukan berarti ini sebuah proklamir atau deklarasi dari hati terdalam tentang keinginan yang terpendam selama waktu yang sangat panjang. BUKAN .... Semuanya berawal dari suatu malam saat aku tidak bisa tidur karena terlalu capek. Seperti biasa, sebagai pelarian dari ketidakbisatiduranku, remote TV selalu menjadi sasaranku. Setelah aku pencet sana pencet sini, sebuah klip musik dengan alunan lumayan keras menarik perhatianku. Aku perhatikan personil yang nyanyi, oh ... Dewa. Biasanya aku kalau dengar lagu Dewa, entah itu di radio maupun TV, dengan spontan aku langsung memindahkan salurannya karena emang aku kurang menyukai musiknya. Namun entah kenapa, lagu ini kok menyita banget perhatianku, dan tanganku sepertinya dihipnotis untuk tidak macam-macam alias hanya kaku saja tak kuasa