Kematian adalah sebuah topik yang acap dijauhi orang untuk dibicarakan. Masih ada anggapan bahwa obrolan tentang kematian adalah hal yang tabu, tidak menyenangkan, dan tidak layak untuk diangkat sebagai sebuah tema diskusi. Terlebih kalau lawan bicara kita orang yang sudah senior, jangan pernah coba mengajak mereka untuk bertukar pendapat tentang kematian. Itu adalah hal yang sangat tidak recomended.
Namun apakah benar segitu sensitifnya hal ini sehingga topik kematian sepertinya harus dihindari? Begitu tidak menyenangkankah sebuah kata kematian sehingga itu menjadi hal yang selalu dijauhi? Apalagi kalau kita mengatakan, sudahkah kita mempersiapkan kematian kita. Wah, bisa-bisa kita didamprat habis-habisan. Jadi apakah alasan sebenarnya kenapa kematian begitu dihindari untuk dibicarakan?
Kematian tabu untuk dibicarakan mungkin karena ketidakjelasan kita akan kemanakah setelah meninggal. Masih menjadi sebuah misteri besar sampai sekarang belum ketemu jawabannya. Maklum saja, karena tidak ada yang pernah ke sana dan kembali lagi. Meskipun ada beberapa kesaksian yang mengatakan mereka pernah ‘mati’ dan dibawa keliling ke beberapa tempat, tetapi itu masih menjadi hal diperdebatkan. Bagi yang percaya, hal itu akan menebalkan iman kepercayaan mereka. Bagi yang tidak percaya, mungkin cibiran yang akan mereka berikan.
Konon setelah kita mati, maka kita akan transformasi bentuk dari keadaan kita sekarang menjadi bentuk yang lain. Ada sebuah tempat baru yang sudah disiapkan kepada kita yang sudah meninggal. Karena kita tidak tahu bagaimanakah bentuk tempat yang akan kita datangi setelah kematian, makanya banyak orang yang merasa takut, gelisah, dan kuatir. Kita hanya bisa menebak tanpa adanya sebuah kepastian. Sebuah dunia baru yang –mungkin-- sama sekali berbeda dengan keadaan sekarang. Tetapi bisa juga dunia baru yang –mungkin—sama persis dengan keadaan sekarang.
Kalau mau dianalogikan, menyeberang ke dunia baru setelah kematian adalah seperti kita tiba-tiba diutus ke sebuah daerah antah berantah, yang tidak pernah kita dengar lokasinya, dan sama sekali tidak ada referensi tentang daerah itu. Nah, bagaimanakah perasaan kita saat mengetahui kita diutus ke sana? Reaksi umum pertama pastinya gelisah. Mungkin ada juga yang takut. Mengapa? Karena itu hal yang baru sekali. Analogi ini mungkin terlalu sederhana untuk membandingkannya dengan dunia baru setelah kematian. Tetapi inti masalahnya sama, yaitu adanya kegelisahan karena kita harus menyeberang ke daerah baru yang tidak kita tahu sama sekali.
Untuk membuat kita lebih tenang, maka dibuatlah konsep surga dan neraka. Surga selalu digambarkan sebagai sebuah tempat yang indah, damai, tenang, teduh, dan tentunya menyenangkan. Gambaran ini dibuat supaya ketakutan kita akan dunia baru itu sirna. Tentunya banyak syarat yang diajukan supaya kita bisa masuk ke sana. Dan syarat-syarat yang diajukan pastinya tidak jauh dari yang namanya kebaikan, amal, kesalehan, dan sejuta hal-hal baik lainnya.
Berlawanan dengan surga, ada konsep neraka. Itu adalah tempat yang konon disiapkan bagi orang-orang yang kelakuannya berujung dengan hal-hal mudarat. Neraka digambarkan dengan tempat yang penuh siksaan, hukuman, cambukan, dan juga api yang menyala-nyala. Dengan adanya kedua konsep itulah diharapkan setiap orang bisa mempersiapkan kematian mereka dengan baik.
Seberapa siapkah kita menghadapinya? Kematian tidak mengenal usia, waktu, jabatan, status sosial. Dia datang begitu saja tanpa ada pengumuman. Dan tidak ada yang tahu kapan dia akan datang menyambut kita. Jadi kalau sudah begitu hukumnya, bagaimanakah kita mempersiapkan kematian kita?
Mempersiapkan kematian di sini bukan berarti mempersiapkan kita nanti mau dimakamkan di mana, peti matinya menggunakan kayu merek apa, disemayamkan di rumah duka mana, mau dikuburkan atau dikremasi, termasuk wasiat akan dibagikan ke siapa saja. Itu penting. Tetapi bukan yang utama.
Persiapan kematian di sini adalah seberapa siap jiwa kita lepas meninggalkan raga kita. Seberapa siap kita memasuki dan beradaptasi dengan dunia baru yang akan kita masuki. Seberapa siap kita dengan hal-hal baru, yang pastinya menyenangkan, yang akan kita temui di sana.
Saya senang dengan sebuah logika lain mengenai transformasi kita setelah kematian. Analoginya adalah waktu kita transformasi dari diri kita yang belum ada menjadi kita sekarang ini. Kita tidak pernah tahu sebelum kita dibentuk di rahim ibu kita seperti apa khan? Tahu-tahu saja kita jadi dan lahir seperti sekarang. Seharusnya ada sebuah dunia lain sebelumnya dan kita tidak tahu seperti apa bentuknya. Saat itu mungkin kita juga tidak tahu bagaimana bentuk kehidupan di bumi seperti sekarang ini. Saat itu mungkin kita meraba-raba dan takut juga menghadapi transformasi ini. Dan perasaan yang sama muncul juga sekarang. Menjelang kematian, kita masih buta akan dunia baru itu.
Kalau memakai analogi di atas, kelihatannya kematian itu tidaklah menakutkan bukan? Seharusnya saat membicarakan kematian bukan lagi hal yang menakutkan, tetapi tumbuh rasa exciting dan tidak sabar dalam menyambut kematian. Dan pastinya sudah siap menyambutnya kalau-kalau dijemput sekarang juga bukan?
Tetapi tidaklah buru-buru juga karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di dunia ini. Sebuah titipan yang menjadi tugas yang harus dituntaskan. Sampai kita merasa mission accomplished, barulah kita siap menjelang dunia baru itu untuk next mission. Setujukah?
Namun apakah benar segitu sensitifnya hal ini sehingga topik kematian sepertinya harus dihindari? Begitu tidak menyenangkankah sebuah kata kematian sehingga itu menjadi hal yang selalu dijauhi? Apalagi kalau kita mengatakan, sudahkah kita mempersiapkan kematian kita. Wah, bisa-bisa kita didamprat habis-habisan. Jadi apakah alasan sebenarnya kenapa kematian begitu dihindari untuk dibicarakan?
Kematian tabu untuk dibicarakan mungkin karena ketidakjelasan kita akan kemanakah setelah meninggal. Masih menjadi sebuah misteri besar sampai sekarang belum ketemu jawabannya. Maklum saja, karena tidak ada yang pernah ke sana dan kembali lagi. Meskipun ada beberapa kesaksian yang mengatakan mereka pernah ‘mati’ dan dibawa keliling ke beberapa tempat, tetapi itu masih menjadi hal diperdebatkan. Bagi yang percaya, hal itu akan menebalkan iman kepercayaan mereka. Bagi yang tidak percaya, mungkin cibiran yang akan mereka berikan.
Konon setelah kita mati, maka kita akan transformasi bentuk dari keadaan kita sekarang menjadi bentuk yang lain. Ada sebuah tempat baru yang sudah disiapkan kepada kita yang sudah meninggal. Karena kita tidak tahu bagaimanakah bentuk tempat yang akan kita datangi setelah kematian, makanya banyak orang yang merasa takut, gelisah, dan kuatir. Kita hanya bisa menebak tanpa adanya sebuah kepastian. Sebuah dunia baru yang –mungkin-- sama sekali berbeda dengan keadaan sekarang. Tetapi bisa juga dunia baru yang –mungkin—sama persis dengan keadaan sekarang.
Kalau mau dianalogikan, menyeberang ke dunia baru setelah kematian adalah seperti kita tiba-tiba diutus ke sebuah daerah antah berantah, yang tidak pernah kita dengar lokasinya, dan sama sekali tidak ada referensi tentang daerah itu. Nah, bagaimanakah perasaan kita saat mengetahui kita diutus ke sana? Reaksi umum pertama pastinya gelisah. Mungkin ada juga yang takut. Mengapa? Karena itu hal yang baru sekali. Analogi ini mungkin terlalu sederhana untuk membandingkannya dengan dunia baru setelah kematian. Tetapi inti masalahnya sama, yaitu adanya kegelisahan karena kita harus menyeberang ke daerah baru yang tidak kita tahu sama sekali.
Untuk membuat kita lebih tenang, maka dibuatlah konsep surga dan neraka. Surga selalu digambarkan sebagai sebuah tempat yang indah, damai, tenang, teduh, dan tentunya menyenangkan. Gambaran ini dibuat supaya ketakutan kita akan dunia baru itu sirna. Tentunya banyak syarat yang diajukan supaya kita bisa masuk ke sana. Dan syarat-syarat yang diajukan pastinya tidak jauh dari yang namanya kebaikan, amal, kesalehan, dan sejuta hal-hal baik lainnya.
Berlawanan dengan surga, ada konsep neraka. Itu adalah tempat yang konon disiapkan bagi orang-orang yang kelakuannya berujung dengan hal-hal mudarat. Neraka digambarkan dengan tempat yang penuh siksaan, hukuman, cambukan, dan juga api yang menyala-nyala. Dengan adanya kedua konsep itulah diharapkan setiap orang bisa mempersiapkan kematian mereka dengan baik.
Seberapa siapkah kita menghadapinya? Kematian tidak mengenal usia, waktu, jabatan, status sosial. Dia datang begitu saja tanpa ada pengumuman. Dan tidak ada yang tahu kapan dia akan datang menyambut kita. Jadi kalau sudah begitu hukumnya, bagaimanakah kita mempersiapkan kematian kita?
Mempersiapkan kematian di sini bukan berarti mempersiapkan kita nanti mau dimakamkan di mana, peti matinya menggunakan kayu merek apa, disemayamkan di rumah duka mana, mau dikuburkan atau dikremasi, termasuk wasiat akan dibagikan ke siapa saja. Itu penting. Tetapi bukan yang utama.
Persiapan kematian di sini adalah seberapa siap jiwa kita lepas meninggalkan raga kita. Seberapa siap kita memasuki dan beradaptasi dengan dunia baru yang akan kita masuki. Seberapa siap kita dengan hal-hal baru, yang pastinya menyenangkan, yang akan kita temui di sana.
Saya senang dengan sebuah logika lain mengenai transformasi kita setelah kematian. Analoginya adalah waktu kita transformasi dari diri kita yang belum ada menjadi kita sekarang ini. Kita tidak pernah tahu sebelum kita dibentuk di rahim ibu kita seperti apa khan? Tahu-tahu saja kita jadi dan lahir seperti sekarang. Seharusnya ada sebuah dunia lain sebelumnya dan kita tidak tahu seperti apa bentuknya. Saat itu mungkin kita juga tidak tahu bagaimana bentuk kehidupan di bumi seperti sekarang ini. Saat itu mungkin kita meraba-raba dan takut juga menghadapi transformasi ini. Dan perasaan yang sama muncul juga sekarang. Menjelang kematian, kita masih buta akan dunia baru itu.
Kalau memakai analogi di atas, kelihatannya kematian itu tidaklah menakutkan bukan? Seharusnya saat membicarakan kematian bukan lagi hal yang menakutkan, tetapi tumbuh rasa exciting dan tidak sabar dalam menyambut kematian. Dan pastinya sudah siap menyambutnya kalau-kalau dijemput sekarang juga bukan?
Tetapi tidaklah buru-buru juga karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di dunia ini. Sebuah titipan yang menjadi tugas yang harus dituntaskan. Sampai kita merasa mission accomplished, barulah kita siap menjelang dunia baru itu untuk next mission. Setujukah?
Comments
Post a Comment