Skip to main content

Tolong ... Emosi saya Dibajak!

Kisah ini terjadi waktu saya masih usia SD. Saya punya seorang adik yang nakal sekali. Nakalnya terutama dalam hal mainan, soalnya setiap kali saya punya mainan baru, pasti dia rusakin. Sebagai seorang kakak, saya yang sering diminta untuk mengalah, meskipun dalam hati tidak rela.

Suatu hari, sepulang dari pasar malam, saya dibelikan mainan berupa kapal-kapalan oleh ayah saya. Sebagai anak kecil, tentunya saya senang sekali. Karena hari sudah malam, jadi saya baru bisa memainkan kapal-kapalan tersebut keesokan harinya. Pagi-pagi saat saya terbangun, hal pertama yang saya lakukan adalah mencari mainan baru saya. Namun saya tetap tidak bisa memainkannya karena saya harus berangkat sekolah. Sebelum berangkat, saya wanti-wanti adik saya untuk tidak menyentuh sama sekali mainan baru saya.

Sepanjang hari selama di sekolah, saya tidak bisa konsen karena membayangkan betapa menyenangkan dan gembiranya saya bermain dengan mainan baru saya. Wajar saja ya kalau mengingat bagaimana perasaan gak sabar dari seorang anak yang ingin segera memainkan mainan baru. Saya jadi tidak sabar untuk buru-buru pulang. Saat sekolah bubar, secepat kilat pun saya berlari menuju rumah.

Namun apa yang terjadi? Mainan saya rusak. Waktu itu saya marah besar. Dengan emosi saya pun cari adik saya, ingin rasanya memukul dia saat itu. Dan benar, saat melihat dia, dengan keras saya mendorong tubuh adik saya. Nah, tindakan penuh emosi tersebut tidak pernah akan saya lupakan. Mengapa? Karena begitu kerasnya saya mendorong adik saya, dia jatuh terjerembab dan kepalanya membentur pinggiran meja ... dan berdarah. Adik saya pun dibawa ke rumah sakit.

 Efek dari tindakan saya ternyata jangka panjang. Karena kepala adik saya terbentur, dia mengalami gangguan permanen pada kepalanya sehingga mengalami kesulitan dalam banyak hal. Akibatnya sekarang, dia hanya bisa menjadi seorang satpam walaupun secara fisik adik saya itu gagah, besar, dan kekar. Mungkin karena faktor fisik tersebut yang menyelamatkan dia sehingga diterima di tempat kerjanya saat ini.

 * * *

Kisah di atas adalah kisah nyata penuh pilu yang saya dengar dari rekan saya. Sekeping cerita yang menunjukkan bahwa tindakan yang disertai emosi negatif sering berujung malapetaka. Banyak contoh lain yang serupa dengan mudah kita dapatkan. Dan penyesalan selalu datang belakangan. Saya yakin penyesalan yang mendalam pasti dialami oleh sang kakak dalam cerita di atas. Penyesalan yang akan dibawa sepanjang hidup. Tentunya kita tidak ingin mengalami hal yang sama bukan?

Kalau kita belajar tentang teori otak, bagaimana cara otak bekerja dalam merespon suatu stimulus/peristiwa, kita akan menemui istilah pembajakan emosi. Mari sedikit belajar tentang alur informasi dan cara kerjanya di otak yuk.

Saat sebuah informasi kita terima, normalnya adalah mampir dulu di Thalamus, bagian otak kecil yang berfungsi sebagai traffic informasi yang masuk tersebut akan diarahkan ke bagian otak yang mana. Kalau kita membedah otak kita, ada 3 bagian yang sering disebut sebagai lymbic system (otak yang mengatur motorik), neo cortex (bagian otak yang berpikir), dan amygdala (bagian otak yang menyimpan dan mengelola emosi, seperti takut, marah, curiga, dll).

Naturnya sistem kerja otak dari informasi/stimulus yang masuk sampai tindakan adalah sebagai berikut. Informasi masuk diterima oleh Thalamus. Kemudian Thalamus mengirim stimulus tersebut ke amygdala untuk mensortir emosi apa yang cocok dengan stimulus tersebut. Dari Amygdala emosi yang sudah jadi tersebut dilempar ke Neo Cortex sebagai dapur berpikir yang diteruskan ke lymbic system yang mengatur motorik apa yang harus dilakukan sebagai respon stimulus tersebut.

Contoh: ada informasi/stimulus berupa kenaikan gaji yang mampir di Thalamus. Dari Thlamus stimulus tersebut langsung diteruskan ke Amygdala. Di Amygdala, informasi tersebut diproses dengan mencari referensi emosi yang sudah terekam sebelumnya. Ketemu, bahwa emosi yang harus menanggapi stimulus kenaikan gaji adalah gembira. Emosi gembira tersebut diteruskan ke Neo Cortex, yang akan berpikir tindakan apa yang harus dilakukan kalau gembira. Setelah ketemu, bagian lymbic system yang memberi perintah kepada tubuh untuk mengekspresikan emosi gembira seperti tertawa, murah senyum, bersemangat, dan sejenisnya.

Sayangnya, jalur yang seharusnya itu tidak selalu dipatuhi. Ada satnya sebuah stimulus/informasi yang mampir dibajak langsung oleh amygdala sendiri --saya menyebutnya sebagai pembajakan emosi--. Ia tidak melaporkan stimulus tersebut ke neo cortex, tapi langsung memberikan instruksi ke lymbic system untuk bertindak. Itulah yang disebut sebagai amygdala hijack. Akibatnya, reaksi kita tidak jernih. Hasilnya adalah respon yang setelah kita melakukannya kita menyesalinya, seperti tindakan sang kakak dalam kisah di atas.

Padahal untuk menghindari kita bertindak ceroboh, salah satu saran yang bisa dilakukan adalah sekadar mengambil waktu sekitar 6 detik untuk berdiam diri. Waktu selama 6 detik tersebut bisa dipakai untuk mengambil nafas panjang, minum, bangun dari tempat duduk, atau melakukan kegiatan ringan lainnya. Tindakan tersebut kelihatan sederhana, tetapi diyakini mampu membuat kita berpikir lebih jernih sehingga tindakan yang kita ambil tidak ceroboh.

 1 ... 2 ... 3 ... 4 ... 5 ... 6 ... Done. Selama itulah waktu yang dibutuhkan untuk menetralisir emosi. Dan yang paling penting mampu menghindari kita dalam bertindak ceroboh yang ujungnya menimbulkan penyesalan.

Selain berdiam selama 6 detik, tentu banyak cara lain yang bisa kita gunakan. Tetapi tidak ada salahnya kita mencoba bukan? Tiap ada stimulus yang memancing kita untuk bertindak secara emosi negatif, berhitunglah selama 6 detik. Percayalah, waktu selama 6 detik akan membuat perbedaan.

Salam #Proaktif
bun.hendri@gmail.com
@hendribun
http://www.kompasiana.com/hendribun

Comments

Popular posts from this blog

Pamali

Sedang membantu menyapu rumah. Saat sapuan mendekat pintu depan, istri langsung ambil alih sapu kemudian balikkan arah sapuan ke dalam rumah. Aku : Lho, ngapain sapu ke dalam? Istri : Kalau malam-malam sapu gak boleh ke depan. Ntar rejekinya ikut kesapu ...' * * * Aku percaya, mayoritas teman yang membaca kisah singat di atas akan tertawa -paling tidak tersenyum- sambil mengaku pernah menjadi 'korban' nasehat serupa. Paling tidak begitulah pengakuan sebagian temanku waktu aku melontarkan hal ini sebagai status. Nasehat yang terkenal ampuh untuk membuat kita 'diam' dan 'taat' waktu kecil karena di dalamnya terdapat unsur dan maksud untuk menakut-nakuti. Belakangan setelah kita dewasa kita mengenalnya sebagai nasehat pamali, yang kalau kita analisa dengan nalar ada maksud logis di balik nasehat tersebut. Sebagai contoh. Nasehat yang mengatakan kita tidak boleh menyapu keluar di malam hari karena rejeki akan keluar juga. Kemungkinan maksud nasehat ini dilatarbe...

Introvert yang Memberontak

"Hen, kamu pilih mana. Lembur sampai jam 11 malam atau pergi meeting dengan klien?" Seandainya pertanyaan di atas dilontarkan 8 tahun yang lalu, saya pasti memilih untuk lembur. Tetapi kalau dilontarkan detik ini juga, dengan mantap saya akan memilih meeting dengan klien. Kenapa bisa begitu? Aku adalah seorang introvert yang cenderung ekstrim. Jejak hidupku menceritakan hal tersebut. Waktu SMA aku mengambil jurusan A1 (Fisika) yang notebene banyak hitungan. Masuk kuliah, aku ambil komputer. Pekerjaan pertama? Tidak jauh-jauh. Dengan alasan idealis, aku menekuni pekerjaan yang berhubungan dengan komputer seperti programming, system, trouble shooter, dll. Bisa dikatakan, aku sangat menikmati percumbuanku dengan 'mesin'. Keseharianku juga mengisahkan hal yang sama. Aku lebih suka mengurung diri di kamar dari pada berha-hi-ha-hi dengan banyak orang. Ketika diajak untuk ikut kegiatan-kegiatan yang mengharuskan aku berinteraksi dengan banyak orang, aku cen...

Belajar Berenang Saat Kepala 3? Its Possible!

Salah satu hal yang mungkin tidak banyak orang tahu tentang aku adalah aku baru bisa berenang saat usiaku menginjak kepala 3. Ups ... aku baru saja membeberkan satu rahasia tentang diriku hehehe. Meskipun aku lahir dan besar di kampung yang notebene banyak airnya (baca: sungai), aku tidak bisa berenang. Dan ketidakbisaanku ini aku pelihara sampai desawa. Lantas, bagaimana ceritanya akhirnya aku bisa berenang? Sederhana saja. Semuanya berawal saat anak pertamaku menginjak usia Balita. Layaknya kesukaan para bocah, mereka selalu punya ketertarikan yang besar akan air yang menggenang (baca: kolam renang). Awalnya aku tidak terusik dengan nir-dayaku berenang saat menemani anakku ke kolam renang. Aku masih bisa menikmati ikut nyemplung di kolam anak-anak sambil menggendong dan menemani anaku di sana. Tetapi lama-lama, ketika anakku mulai bosan di habitatnya dan pengen terjun ke kolam orang dewasa, aku baru sadar. Ditambah dengan perasaan 'orang lain melihat' (kegeerank...