Satu hal yang senang aku lihat dari acara olahraga adalah momen saat pertandingan berakhir. Sikap mereka yang begitu bersahabat dengan bersalaman bahkan kadang berpelukan dengan hangat memberikan makna yang begitu mendalam bagiku. Di dalam arena, mereka boleh seperti kucing dan anjing yang saling menyikut, mengganjal, bahkan saling memancing emosi lawan demi sebuah kemenangan. Namun saat semuanya selesai, sikap mereka berubah total.
Yang menang mengekspresikannya dengan bersuka, bersorak, melompat, serta berbagai macam ekspresi kegembiraan. Namun kalau diperhatikan secara seksama, semua itu hanya ekspresi sesaat. Dengan segera mereka akan mendatangi lawannya seraya mengucapkan kata-kata penghiburan dan tentunya pujian. Sementara pihak yang kalah tidak merasa dendam, menyambut kedatangan sang pemenang dengan muka ceria, dan secara fair mengakui bahwa lawan lebih baik dari mereka.
Sportivitas, itulah kata yang aku anggap paling tepat untuk sikap mereka. Sebuah kata yang bermakna dalam, di mana ada pengertian hati yang terbuka, kelapangan dada, serta semangat untuk menerima apapun hasilnya termaktub di dalamnya. Sebuah sikap saling menghormati, menerima, bahkan mengakui kehebatan lawan terbungkus rapi di dalamnya. Sebuah perasaan saling mendukung, memberi semangat, dan tidak putus asa begitu saja tersirat begitu mendalam di kata ini.
Berbicara tentang sportivitas, mudah untuk ditemui di luar negeri tetapi sangat langka untuk dilihat di dalam negeri. Bukan maksud aku meremehkan Republik ini, tapi begitulah realitanya. Contoh yang paling jelas adalah proses pemilihan jabatan tertentu. Masih sangat fresh di pikiran kita, gejolak-gejolak yang terjadi di bumi nusantara ini yang berujung kerusuhan terjadi di mana-mana. Alasannya sangat klasik, tidak terima bahwa jagoannya kalah. Ketika dibedah lebih lanjut, kita akan mendapatkan alasan-alasan kecil yang sangat bervariasi, dari tuduhan penggelapan suara, perhitungan yang tidak fair, money politic, dan banyak kambing hitam lainnya. Dan ujung-ujungnya siapa sih yang rugi? Rakyat sendiri khan.
Aku mengerti sekali, bahwa mereka yang kalah tidak menerima karena alasan uang. Pengalamanku yang pernah terlibat beberapa waktu dalam dunia politik sangat memahaminya. Banyak yang demi jabatan tertentu rela menggocek kantongnya bahkan menjual aset-aset pribadinya sampai habis. Jadi sangat wajar kalau kalah langsung ngamuk. Dan kalau berbicara sportivitas untuk mereka pasti seperti berkata-kata kepada batu saja. Tetapi bukankah seharusnya mereka yang memberanikan diri untuk terjun ke sana harus menyadari sepenuhnya, bahwa dalam suatu kompetisi pasti ada yang kalah dan menang?
Aku suka membandingkan realita yang terjadi di negeri ini dengan apa yang berlaku di luar negeri, terutama di negara yang sudah maju. Mungkin kedengarannya tidak fair yah, namun aku pikir itu perlu sebagai bahan perbandingan dan pembelajaran saja. Masih jelas waktu pemilihan Presiden di negeri paman Sam, di mana waktu itu Al Gore kalah secara negara bagian tetapi unggul secara suara dari presiden sekarang George Bush Jr [CMIIW]. Ada kelapangan untuk menerima bahwa itulah konsekuensi dan harga sebuah demokrasi dan sistem. Aku membayangkan berapa duit yang sudah dikeluarkan untuk kampanye, pasti sangat sangat sangat banyak. Namun aku tidak melihat tuh, kejadian anarkis terjadi di sana. Yang aku dapatkan hanyalah kebesaran hati pihak yang kalah muncul di televisi nasional, mengakui kekalahan seraya mengucapkan selamat kepada yang menang.
Coba kalau itu terjadi di negeri ini. Bisa-bisa kerusuhan yang terjadi di bulan Mei 98 akan menjadi jilid ke-2. Yah ... mungkin pembelajaran seperti inilah yang belum tertanam di negeri ini. Namun aku tidak bisa menyalahkan mereka juga. Seandainya aku berada di kondisi mereka, aku berpikir apakah aku masih bisa ingat juga akan sebuah kata: sportivitas?
Terlalu ekstrim kali aku mengambil contoh di atas. Terlalu berat untuk dibayangkan hehehe ...
Supaya lebih rileks, aku ambil contoh olahraga rakyat deh, sepakbola. Sudah merupakan berita yang biasa tatkala sebuah pertandingan berakhir rusuh gara-gara tim tuan rumah kalah. Bangku stadion dibakar, pagar-pagar dirubuhkan, dan tindakan anarkis berlanjut sampai di luar stadiun dengan merusak kios-kios di pinggir jalan, mobil atau motor malang yang kebetulan parkir juga jadi sasaran, pendukung tim tamu diuber sampai stasiun, pemain lawan diteror sampai tidak berani keluar dari stadiun, sampai wasit pun harus diamankan secara khusus dari amukan massa.
Lagi-lagi aku membandingkannya dengan luar negeri. Jarang sekali aku dengar dan lihat beritanya di media massa kalau di Italia atau Inggris terjadi kerusuhan hanya gara-gara tim tuan rumah kalah. Pernah emang, tapi sangat jarang. Yang sering itu selain Indonesia, juga terjadi di negara Latin seperti Argentina, Brazil, Venezuela, dan cs-nya.
Aku melihat itu sebagai apa yah ... suatu kedewasaan mental untuk bersikap sportif dan sebuah penyadaran bahwa segala sesuatu pasti ada resikonya.
* * *
Berbicara di level pribadi, sikap sportif juga tercermin dalam bentuk kesopanan dan kebesaran hati dalam sebuah persaingan. Proses pemilihan tim untuk masuk proyek tertentu, penentuan siapa yang menjadi pimpro, hingga promosi jabatan. Semuanya tetap memerlukan sikap profesional dan sportif dalam bersaing secara dewasa. Namun mungkin ada ganjalan, ketika semua keputusan didasarkan atas hubungan personal. Tetapi aku pikir itu bukan halangan bagi kita, justru dari peristiwa tersebut kita semakin dimatangkan untuk menghadapi kerasnya persaingan.
Dan kalau mau menyempitkan masalah, sikap sportif juga diperlukan dalam proses perebutan pacar. Apakah kalau kita kalah bersaing masih memiliki hati yang lega untuk berteman dengannya, terlebih kepada musuh kita yang berhasil merebut hatinya? Hmm ... sulit tapi harus :)
Yang menang mengekspresikannya dengan bersuka, bersorak, melompat, serta berbagai macam ekspresi kegembiraan. Namun kalau diperhatikan secara seksama, semua itu hanya ekspresi sesaat. Dengan segera mereka akan mendatangi lawannya seraya mengucapkan kata-kata penghiburan dan tentunya pujian. Sementara pihak yang kalah tidak merasa dendam, menyambut kedatangan sang pemenang dengan muka ceria, dan secara fair mengakui bahwa lawan lebih baik dari mereka.
Sportivitas, itulah kata yang aku anggap paling tepat untuk sikap mereka. Sebuah kata yang bermakna dalam, di mana ada pengertian hati yang terbuka, kelapangan dada, serta semangat untuk menerima apapun hasilnya termaktub di dalamnya. Sebuah sikap saling menghormati, menerima, bahkan mengakui kehebatan lawan terbungkus rapi di dalamnya. Sebuah perasaan saling mendukung, memberi semangat, dan tidak putus asa begitu saja tersirat begitu mendalam di kata ini.
Berbicara tentang sportivitas, mudah untuk ditemui di luar negeri tetapi sangat langka untuk dilihat di dalam negeri. Bukan maksud aku meremehkan Republik ini, tapi begitulah realitanya. Contoh yang paling jelas adalah proses pemilihan jabatan tertentu. Masih sangat fresh di pikiran kita, gejolak-gejolak yang terjadi di bumi nusantara ini yang berujung kerusuhan terjadi di mana-mana. Alasannya sangat klasik, tidak terima bahwa jagoannya kalah. Ketika dibedah lebih lanjut, kita akan mendapatkan alasan-alasan kecil yang sangat bervariasi, dari tuduhan penggelapan suara, perhitungan yang tidak fair, money politic, dan banyak kambing hitam lainnya. Dan ujung-ujungnya siapa sih yang rugi? Rakyat sendiri khan.
Aku mengerti sekali, bahwa mereka yang kalah tidak menerima karena alasan uang. Pengalamanku yang pernah terlibat beberapa waktu dalam dunia politik sangat memahaminya. Banyak yang demi jabatan tertentu rela menggocek kantongnya bahkan menjual aset-aset pribadinya sampai habis. Jadi sangat wajar kalau kalah langsung ngamuk. Dan kalau berbicara sportivitas untuk mereka pasti seperti berkata-kata kepada batu saja. Tetapi bukankah seharusnya mereka yang memberanikan diri untuk terjun ke sana harus menyadari sepenuhnya, bahwa dalam suatu kompetisi pasti ada yang kalah dan menang?
Aku suka membandingkan realita yang terjadi di negeri ini dengan apa yang berlaku di luar negeri, terutama di negara yang sudah maju. Mungkin kedengarannya tidak fair yah, namun aku pikir itu perlu sebagai bahan perbandingan dan pembelajaran saja. Masih jelas waktu pemilihan Presiden di negeri paman Sam, di mana waktu itu Al Gore kalah secara negara bagian tetapi unggul secara suara dari presiden sekarang George Bush Jr [CMIIW]. Ada kelapangan untuk menerima bahwa itulah konsekuensi dan harga sebuah demokrasi dan sistem. Aku membayangkan berapa duit yang sudah dikeluarkan untuk kampanye, pasti sangat sangat sangat banyak. Namun aku tidak melihat tuh, kejadian anarkis terjadi di sana. Yang aku dapatkan hanyalah kebesaran hati pihak yang kalah muncul di televisi nasional, mengakui kekalahan seraya mengucapkan selamat kepada yang menang.
Coba kalau itu terjadi di negeri ini. Bisa-bisa kerusuhan yang terjadi di bulan Mei 98 akan menjadi jilid ke-2. Yah ... mungkin pembelajaran seperti inilah yang belum tertanam di negeri ini. Namun aku tidak bisa menyalahkan mereka juga. Seandainya aku berada di kondisi mereka, aku berpikir apakah aku masih bisa ingat juga akan sebuah kata: sportivitas?
Terlalu ekstrim kali aku mengambil contoh di atas. Terlalu berat untuk dibayangkan hehehe ...
Supaya lebih rileks, aku ambil contoh olahraga rakyat deh, sepakbola. Sudah merupakan berita yang biasa tatkala sebuah pertandingan berakhir rusuh gara-gara tim tuan rumah kalah. Bangku stadion dibakar, pagar-pagar dirubuhkan, dan tindakan anarkis berlanjut sampai di luar stadiun dengan merusak kios-kios di pinggir jalan, mobil atau motor malang yang kebetulan parkir juga jadi sasaran, pendukung tim tamu diuber sampai stasiun, pemain lawan diteror sampai tidak berani keluar dari stadiun, sampai wasit pun harus diamankan secara khusus dari amukan massa.
Lagi-lagi aku membandingkannya dengan luar negeri. Jarang sekali aku dengar dan lihat beritanya di media massa kalau di Italia atau Inggris terjadi kerusuhan hanya gara-gara tim tuan rumah kalah. Pernah emang, tapi sangat jarang. Yang sering itu selain Indonesia, juga terjadi di negara Latin seperti Argentina, Brazil, Venezuela, dan cs-nya.
Aku melihat itu sebagai apa yah ... suatu kedewasaan mental untuk bersikap sportif dan sebuah penyadaran bahwa segala sesuatu pasti ada resikonya.
* * *
Berbicara di level pribadi, sikap sportif juga tercermin dalam bentuk kesopanan dan kebesaran hati dalam sebuah persaingan. Proses pemilihan tim untuk masuk proyek tertentu, penentuan siapa yang menjadi pimpro, hingga promosi jabatan. Semuanya tetap memerlukan sikap profesional dan sportif dalam bersaing secara dewasa. Namun mungkin ada ganjalan, ketika semua keputusan didasarkan atas hubungan personal. Tetapi aku pikir itu bukan halangan bagi kita, justru dari peristiwa tersebut kita semakin dimatangkan untuk menghadapi kerasnya persaingan.
Dan kalau mau menyempitkan masalah, sikap sportif juga diperlukan dalam proses perebutan pacar. Apakah kalau kita kalah bersaing masih memiliki hati yang lega untuk berteman dengannya, terlebih kepada musuh kita yang berhasil merebut hatinya? Hmm ... sulit tapi harus :)
kalo soal rebutan pacar...mana ada yng bersikap sportif wuaakakakakak
ReplyDeletesportivitas buat gw itu artinya kemenangan buat diri sendiri. Mengalah bukan untuk orang lain tapi untuk kemenangan diri sendiri.
ReplyDeleteTapi kalo soal pacar?? gak usah yeeeee, sikat aja selama janur kuning belon melengkung... :)
Bener tuh, harusnya sikap sportif dijaga... :) Tapi untuk pertandingan yang lain (misalnya lomba Inggris, matematika, kimia, biologi, dll) sportivitas masih dijunjung tinggi tuh... . Gak pernah ada koq sampe berantem gara2 kalah lomba, wakakaka... :lol: :lol: :lol: :lol:
ReplyDeleteko hendri ikut politik?
ReplyDeletejd apa ko?
bupati jogja?
ato supirnya bupati jogja?
*postingan sblmnya ttg supir naik mobil mewah*
disini masalahnya rakyat bisa dgn gampang diajak kongkalingkong utk menjatuhkan lawan. rakyat kecil tergiur dgn uang yg ditawarkan, dan scr umum pendidikannya mereka rendah sehingga gampang dibohongin utk asal ikut2 demo yg gak bertanggung jawab
dunno, apa yg salah dgn indo
dulu di sgp pas taon 97 ato 98 pas world cup, cafe outdoor delifrance (padahal keknya itu franchise-an deh!!) dibakar sama fans yg ga rela france menang vs croatia <--- yg bakar mungkin para bandar bola kali yeh hueheueuhe
ReplyDeletetapi beneran yah, gua suka bgt liat sportifnya pemaen soccer, uda kalah jg masi salaman, masi tuker2an baju...
(ngmg2 kemaren gua cuman liat cuplikan 3 menit terakhir villa real vs arsenal, tapi gua ikutan nangis loh pas pemaen villa satu nangis gara2 kalah) astaga, daku cengeng skali!! padahal gua jrg2 ntn bola wakakakaka
and bener bgt, kompetisi, pasti ada yg menang, ada yg kalah!! kalo menang terus mah namanya bukan idup di bumi donkk... kalo kalah trus?? walah itu daku kaga taok deh wakakaka
hwhahahaha itumah si iki. kalo kalah mane games, bowling dll, ngamuk2x. nyampak2x barang. makanya aku malas lagi mane board games ama dia
ReplyDeleteHen, sy sll lebih byk mengalah buat memang dalam segala hal..itu sportif atau kelainan..mohon petunjuk suhu :)
ReplyDeleteHen, sy sll lebih byk mengalah buat menang ..itu sportif atau kelainan..mohon petunjuk suhu :)
ReplyDeleteMeli: hahahaha ... itu pengalaman pribadimu yah :)
ReplyDeleteYen: Oooo ... gitu toh :) Selama janur kuning belon melengkung? Hmm ... pasti ini pengalaman pribadi juga hahahah
Zilko: Begitulah hehehe ... *bingung ngebayangin kalo pas lomba Inggris tiba2 Zilko ngamuk karena kalah* :))
Mee: Supir bupati? Ndaklah ... yang ini lebih keren, menyangkut nasib Republik lho :) Apakah yang salah dengan Indo? Marilah kita bertanya kepada semut merah yang berbaris di pohon akasia :))
Violet: Hehehe ... selain bola, yang aku senang itu tinju. Lihat deh di luar negeri [kebetulan posting yang satu ini habis nonton Golden Boy Oscar La Hoya], sang pemenang langsung dekati yang kalah sambil berpelukan dan bisik2 sesuatu :) Kalah terus? Waaa ... jgn dong ...
Dian: Gitu yah hehehe ... semoga sifatnya Iki ndak ketularan ke kamu yah :)
Sisca: Hehehe ... perlu sesi khusus untuk membahasnya tuh :))